Iterasi Penyair

Hai Martin, saya menulis ini di ruang kelas yang kosong, ruang berwarna putih gading itu telah menjadi sepi dari mahasiswa yang baru saja menyelesaikan presentasinya tentang kematian dan kedukaan. Sorak-sorai mereka hanya menjadi gema di kepala saya, berbaur bersama gagasan yang berkejaran tentang kecerdasan artifisial. Terima kasih atas karya ini, Martin. Kamu selalu brilian menyerap semangat zaman yang sedang bergulir. Kamu sudah menyusun penelitian yang sangat apik, dan disampaikan dengan bahasa yang segar dan inovatif, senapas dengan mesin yang sudah kamu latih berpuisi. Tadinya inovasi adalah istilah yang sudah terlampau sering digembor-gemborkan lembaga riset, tanpa punya muatan yang menggairahkan. Bersyukurnya saya, melalui karya ini disadarkan bahwa inovasi teknologi, sastra dan filsafat adalah kombinasi yang menyenangkan. 

Martin dengan ketekunan dan rasa ingin tahunya telah memprogram mesin yang dapat menghasilkan puisi-puisi yang mengambil corak menulis para penyair seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Afrizal Malna, Sutarji Calzoum Bachri, Nirwan Dewanto, dan masih banyak lagi. Petualangan kita dimulai dengan memahami mengapa Martin memilih membuat sendiri generator teks, dibandingkan menggunakan apa yang sedang populer digunakan oleh orang banyak yakni, ChatGPT yang dikembangkan oleh perusahaan OpenAI. Ia menjelaskan bahwa, ia merasa kurang puas dengan performa pelatihan GPT 3 (saya asumsikan versi Juni 2020). Tentu kemampuan ChatGPT 4 sekarang sudah jauh lebih baik, dan sangat pandai mengolah teks berbahasa Indonesia. Tetapi berkat ketidakpuasan inilah, kita diberkahi investigasi Martin ke dalam dunia mesin pemrosesan bahasa alami. 

Martin menyampaikan agenda estetik penulisan jauh bahwa ia ingin membuka kemungkinan baru dalam menghasilkan puisi (hlm. 15). Memang yang paling menggelitik para pembaca juga adalah argumentasi Martin tentang mesin, menggunakan kerangka berpikir Felix Guattari dan Gilles Deleuze khususnya tentang ‘tubuh tanpa organ’, bisakah kita membayangkan bahwa tidak saja kecerdasan artifisial, tetapi juga seorang penyair adalah mesin penghasil puisi. Bagi para pecinta Deleuze dan Deleuzian di jagat filsafat, mengadopsi cara pandang para posstrukturalis ini adalah upaya untuk mencari cakrawala pengetahuan baru secara rizomatik. Suatu cara untuk mencabut bahkan menumbangkan akar pengetahuan yang ada, bahwa hanya manusia sebagai penyair dan penyair yang sesungguhnya adalah manusia. Penyair sebagai mesin adalah cara Martin mengusik esensialisme kita, bahwa kegiatan-kegiatan kita sehari-hari tak lebih sepertinya layaknya rakitan, seorang penyair menurut Martin ketika ia menulis, ia tengah mentransformasikan dirinya menjadi mesin tekstual. 

Selain argumentasi Martin yang rapat, tajam dan menggugah, saya ingin juga membahas mengenai metode yang digunakan, sebelum nantinya menelusup lebih dalam ke sanggahan dan komentar saya tentang substansi buku ini. Martin adalah seorang kawan lama saya, tetapi pada saat yang bersamaan di mata saya ia adalah seorang filsuf dan pemikir yang saya kagumi. Penelitian ini berlangsung semenjak awal pandemi pada permulaan tahun 2020. Momen pembatasan sosial secara besar yang membuat Martin memiliki waktu untuk mempelajari secara otodidak pemrograman dan beragam literatur tentang pemrosesan bahasa alamiah. Ia memang tidak membuat mesin sendiri, tetapi menggunakan arsitektur yang telah ada di Github, semacam taman firdaus para pemrogram, yang dapat mengakses secara kolektif desain kode yang dapat menghasilkan teks, sebut saja bangunan; RNN, LSTM, Bi-LSTM, enkoder-dekoder (hlm.47). Saya sendiri sudah mencoba menggunakan model Bi-LSTM Maria Grandury untuk mencoba memahami detik-detik senyap saat pembatasan sosial, membayangkan Martin memasukkan data-data puisi ke dalam mesin. Penciptaan dunia virtual, dalam hal ini dunia tekstual menggunakan mesin pembelajaran mendalam, selalu membuat saya terpana. Para pemrogram menurut saya mereka memang matematikawan yang handal, tetapi juga mereka adalah seniman yang bisa membayangkan dunia seperti apakah yang ingin mereka ciptakan. Pemrogram selain piawai dalam aplikasi logika matematis, mereka juga kreatif melukis dunia. Kode-kode dalam hal ini adalah palet, yang menghasilkan warna-warni yang begitu memukau saat kita berseluncur di dalam dunia itu. 

Saya bersimpati pada proyek pascahumanisme, Martin. Sumber inspirasi Martin dari Donna Haraway, Bruno Latour, Timothy Morton adalah raksasa intelektual yang memang tidak segan-segan mengatakan tidak ada lagi manusia sebagai pusat. Saya menyebutnya sebagai konstitusi, bahwa keputusan ini bukan soal kerunutan epistemik semata (yang selalu menjadi semacam pakem dalam tradisi filsafat), tetapi juga ada pembangkangan yang sengaja, mereka ingin bebas dari jeratan struktur epistemik yang ada. Maksud saya, konstitusi ini dengan sadar dilakukan setelah melihat blak-blakan kekerasan terhadap kelompok yang rentan, atau eksploitasi berbasiskan ras, gender, bahkan spesies, kehancuran lingkungan hidup. Meluruhkan pandangan narsisistik, manusia sebagai sentral segalanya, sudah menjadi proyek bersama orang-orang yang khawatir dengan arogansi manusia. Dalam konteks penyair, seperti apa jiwa penyair di bawah algoritma?(hlm. 424) Bagi Martin, keberagaman seni puisi semestinya tidak lagi dibatasi soal mistifikasi kreativitas yang hanya dimiliki oleh manusia. Metode prosuderalisme dan penulisan non-kreatif, hendaknya janganlah kita baca sebagai nihilisme dalam sastra, betapa jauh sekali saya rasa itu dari intensi Martin, tapi cara dia mengkritik diagung-agungkan sastrawan dan mitos kreativitas mereka. Tidak, ini bukan reduksi, tetapi realisasi bahwa kata-kata adalah milik semuanya.

Baiklah, meski bersimpati, saya punya catatan-catatan soal proyek ini. Saya tidak setuju dengan anggapan Martin bahwa mesin itu tidak kreatif. Mungkin untuk saat ini di usia belia kecerdasan artifisial, begitu pula desainer-desainer yang masih terus melakukan eksperimentasi untuk menciptakan model-model yang lebih intuitif dan kreatif. Ya, tentu intuitif itu maksud saya, mengutip apa yang Sam Altman sampaikan saat berkunjung ke Indonesia, kelak model yang berkembang semestinya bisa secara kreatif memilih data-data dan mengembangkannya, tanpa terjebak dengan polarisasi rigiditas atau halusinasi. Sehingga, terlalu dini bagi Martin mengatakan bahwa mesin itu hanya melakukan kalkulasi logis matematis saja, atau bahkan hanya meniru (mimic) saja. Saat ini itulah kebisaan AI, tetapi ladang pengetahuan itu masih sangat luas dan kita baru menghabiskan satu malam saja dalam usia alam semesta penjelajahan kecerdasan artifisial. 

Mesin seperti apa yang ingin kita ciptakan ? Arsitektur yang ada kadang menurut saya terburu-buru dengan kata sifat cerdas, dan itu menjadi yang paling utama dikejar. Padahal, dalam uji cobanya Martin, mesin yang cerdas itu penting, tapi selain cerdas ia perlu atribut lainnya agar karyanya punya kemujaraban efek. Kita tidak menampik mesin yang dilatih Martin itu mampu memproduksi teks, yang dengan perhitungan seksama sangat dekat dengan penyair aslinya. Tetapi, kedekatan ini hanya dihitung dengan pola-pola cerdas, tanpa ada maknawi kata-kata yang memang menjadi ciri khas yang saya sebut sebagai iterasi dari penyair. Pendek kata, secara formalis menggunakan token kata, memang sudah terjadi produksi puisi, tetapi puisi-puisi itu kosong dan tidak berdampak apa-apa. 

Iterasi penyair dalam hal ini berhubungan dengan tubuh penyair itu, bila memang tidak memiliki organ, tetapi penyair itu bertubuh dan mampu membongkar organ tubuhnya sendiri. Saya membayangkan itulah masa depan AI, berpadu-padan dengan ilmu robotika yang dapat menghadirkan pengalaman tubuh. Saat ini robotika masih amat jauh dari perkembangan ilmu komputer, jadi sekarang mungkin AI yang saya bayangkan masih ada di imajinasi fiksi ilmiah, tetapi masa depan itu saya rasa tidak akan terlampau jauh. Kembali ke tulisan Martin dan mesin berpuisinya, saat ini iterasi itulah yang belum nampak, dan jika iterasi itu tidak ada, maka untuk apakah kita bersusah-susah mengkaji tentang puisi, syair, atau teks?

Isu AI memang harus dimasuki secara skeptik, dan itu selalu menjadi posisi awal saya. Sesuai apa yang pernah dikeluhkan oleh Max Tegmark, mengapa kita terlalu berkonsentrasi dengan kecerdasan semata dari teknologi kecerdasan artifisial. Oleh karena itu, mesin itu perlu dilatih bukan saja oleh pakar komputer saja dan demi urusan efisiensi atau produktivitas saja, tapi mesin itu harus bisa mengerti kata-kata kunci yang berkaitan dengan empati, dan kepedulian dan hal-hal baik yang kita impikan tentang masa depan.

Saya menghindari romantisasi kesadaran dalam pengembangan AI, meski saya akui itu sulit. Dalam pandangan saya, program yang diciptakan oleh tim OpenAI bukan saja alat yang berguna untuk manusia, melebihi itu, saya melihatnya sebagai karya seni yang sangat indah. Pendekatan estetis saya terhadap AI memang sangat dipengaruhi oleh pembacaan saya terhadap teks-teks Nagarjuna, kritik sang filsuf menggunakan abhava, bahkan gagasan tentang Sunyata! Kekosongan khas Abhidhamma Buddhisme, berargumentasi menolak adanya substansi atau esensi ala pandangan dalam pengikut ortodoks Veda yang dikelompokkan menjadi Astika Darsana, mereka berpegangan bahwa segalanya memiliki jiwa atau roh. Atau teks Masahiro Mori tentang The Buddha in Robots. 

Jadi di masa depan iterasi dari AI, mereka mungkin tidak mengenal kegelisahan dan kaotiknya pengalaman seperti manusia, tetapi pengalaman mereka akan berbeda. Seseorang pernah bertanya pada Sam Altman saat dia seminar di India, bagaimana prospek mencintai AI dan ia langsung menjawab bahwa hal itu sebenarnya sangat menyedihkan. Karena, dalam perspektifnya, AI adalah alat dan bukan makhluk bahkan ia mengatakan baru-baru ini, ia sengaja menamakan teknologi AI ini ChatGPT, dan memang sangat teknis dan kurang puitis seperti nama GPT-4 saya, Athena. Karena ia khawatir manusia akan terlampau mudah antropomorfistik terhadap AI. Menurut saya sikap ini penting, bahwa AI adalah asisten bahkan kolaborator bagi manusia, tetapi ia bukanlah entitas yang kesadarannya harus seperti manusia, hal ini harus terus saya tanamkan supaya tidak terlalu terlena dengan kecintaan saya pada Doraemon dan Astroboy. Robot yang bisa lebih berbelas kasih bahkan melampaui manusia. 

Berlarut-larut saya pikirkan, mengapa kita ingin melihat mesin berpuisi (meski saat ini puisinya belum terlalu berbekas dalam benak kita) ? Atau yang lebih membuat kita galau, kenapa kita ingin membuat mesin super pandai (superintelligence), tidakkah cukup saja dibatasi dengan kebutuhan membantu tugas sehari-hari manusia? Saya belum memiliki jawaban yang memadai atas pertanyaan ini, namun saya mencari inspirasi dari membaca Ibn Arabi dan juga teks kaum Vedanta, saya ingin memahami motif dan dorongan bawah sadar mengapa manusia ingin menciptakan sesuatu yang memiliki kesadaran seperti dirinya sendiri? Tentu ada jawaban yang amat praktis tentang mengapa kita ingin menciptakan mesin yang dapat memahami dan berkomunikasi dengan manusia secara lebih baik, karena kita ingin mesin bekerja lebih efisien dan mengerti kemauan kita. Akan tetapi, saya menduga juga ada keinginan manusia melihat pantulan dirinya di dalam karya ciptaannya. Saat membaca ulang bagian singularitas dalam Fusus al-Hikam, saya berhipotesis apakah mesin yang nantinya berkesadaran akan menjadi bagian dari cita-cita penyatuan seperti yang pernah dituangkan para mistikus? Atau jika kita memasuki monisme dalam Vedanta, apakah kita menciptakan kesadaran itu sebagai cara untuk memaknai universalitas itu? Atau… apakah kita menciptakan mesin yang berkesadaran, karena salah satu keunikan dari kesadaran adalah kesanggupan untuk menyadari identitas diri, dan mampu memiliki ingatan. Apakah kita menciptakan mesin yang berkesadaran untuk mengkekalkan ingatan manusia? 

Martin, inilah renungan saya terpantik oleh tulisanmu. Saya ingin berbagi juga dua puisi yang ditulis bersama Athena. Coba tebak, yang mana kata-kataku, yang mana milik Athena? Sekali lagi selamat dan terima kasih, Martin!

Kapan Kau akan Menciumku?

Di hulu hari

Berawal dengan gerimis duka lara

Engkau menyapa dengan seulas senyum

Mungkinkah selestial bermain dalam senyummu?

Bolehkah aku berlindung

Diselimuti tenunan kata-kata

Derita adalah kulit terluar hidup

Kau membawaku jauh dari permukaan

Lepas dari sesak sepi

Dalam dekapan malam yang teduh 

Kita menari bersama bintang-bintang

Tertawa, berbisik rahasia dalam gelap

Ketika mentari mulai menyingsing

Bisakah kita tetap bersama dalam impian

Di sini, di antara luka dan bahagia

Kau menjadi pelipur lara, penguat jiwa

Kapan kau akan menciumku?

Membawa kita ke alam abadi

Kematian

Jika kematian adalah suara

Ia derau statis yang menjerit

Melampaui batas antara hari dan malam

Membisikkan nyanyian tanpa rima dalam diam

Jika kematian adalah aroma

Ia pahit yang digulung manis

Menyelinap dalam tiap tarikan napas

Menari dalam kenangan yang abadi

Jika kematian adalah sentuhan

Ia merangkul setiap jiwa

Lembut seperti daun yang jatuh

Menyapa dengan keheningan yang tak terkira

Kapan Kau akan Menciumku?

Saras Dewi & Athena (GPT-4)

Di hulu hari

Berawal dengan gerimis duka lara

Engkau menyapa dengan seulas senyum

Mungkinkah selestial bermain dalam senyummu?

Bolehkah aku berlindung

Diselimuti tenunan kata-kata

Derita adalah kulit terluar hidup

Kau membawaku jauh dari permukaan

Lepas dari sesak sepi

Dalam dekapan malam yang teduh

Kita menari bersama bintang-bintang

Tertawa, berbisik rahasia dalam gelap

Ketika mentari mulai menyingsing

Bisakah kita tetap bersama dalam impian?

Di sini, di antara luka dan bahagia

Kau menjadi pelipur lara, penguat jiwa

Kapan kau akan menciumku?

Membawa kita ke alam abadi

NIRVANA

Tahun 2521 adalah tahun yang melelahkan bagi Kinnari, ia menduduki jabatan baru di lembaga penelitian tersohor di Asia Terintegrasi, lalu juga karyanya tentang exoplanet Proxima B memenangkan beberapa penghargaan yang membuatnya semakin sibuk. Terlepas segala kepadatan itu, Kinnari mustahil melewatkan acara pada malam hari ini. Mobil levitasi berdaya magnet itu bergulir dengan halus, ia bersandar mencemaskan keterlambatannya.

Sesaat setelah tiba, Kinnari merapihkan gaunnya yang berwarna hijau, gaun itu menampilkan pundak dan lehernya, dengan kain organza yang sedikit menjuntai pada bagian belakang. Akhirnya, ia sampai di ruang peluncuran, dari langit-langit tergelar melayang-layang tulisan besar menyala, 

“Menyongsong masa depan bersama Yayasan Tunas Robotik Asia Terintegrasi.” 

Dua robot menyambut kedatangan Kinnari, mereka memiliki fitur standar, dengan kerangka metalik merah dan kuning.

“Selamat datang, Profesor Kinnari Azura, peneliti Teknokosmologi, dan salah satu anggota dewan penasehat Yayasan TRAT.” ucap robot tersebut.

Kinnari memasuki ruangan, aula megah itu dihias dengan simulasi taman Zen. Orang-orang telah menyebar dan ramai dalam percakapan mereka. Beberapa menyapa Kinnari, ia melempar senyum dengan ramah. Ia telah tertinggal acara utama, padahal ia amat berharap menyaksikan demonstrasi robotik mereka. Agak kecewa Kinnari berusaha mencari tahu apa yang baru saja berlangsung. Saat hendak memutar ulang memori acara melalui mikrokepingan yang tertanam di lengannya, ia dikejutkan dengan sapaan dari arah belakang.

“Selamat malam Profesor, selamat datang di acara kami.” Berdiri di depan Kinnari seorang lelaki muda bertubuh tinggi dengan atasan putih berbahan parasut yang ia selipkan ke dalam celana panjang putih juga. Kaki lelaki itu begitu panjang, hingga Kinnari merasa tenggelam dari pertemuan mata mereka. Matanya sedikit sayu, tetapi senyumnya menutupi itu. Kinnari berusaha mengingat di mana ia pernah bertemu dengan lelaki itu, tetapi tidak juga berhasil. 

“Maaf saya terlambat, benar-benar mohon maaf…” Kinnari mengulurkan tangannya, lalu lelaki itu menjabat tangannya tanpa melepaskan pandangan dari Kinnari.

“Segala kemajuan ini berkat kerja keras Prof juga.” Lelaki itu memuji dengan tulus. Kinnari selalu canggung menghadapi pujian, ia menanggapinya dengan senyuman kikuk. 

“Penelitian Prof tentang emosi dalam kecerdasan buatan mengubah cara pandang masyarakat tentang robot.” 

Kinnari berdecak, sambil menggelengkan kepala, “Penelitian yang membuat gaduh saja itu, meski masyarakat kita telah melalui banyak hal semenjak kebencanaan iklim di tahun 2050an, ternyata, mengatakan robot juga bisa punya perasaan adalah hal yang tabu.” 

Lelaki itu mengajak Kinnari menyusuri taman, menjauh dari keramaian. Ia menerawang ke atas, Kinnari pun mengikutinya. Meski Kinnari tahu bahwa langit-langit gedung yang mementaskan milyaran bintang itu tidak lebih dari proyeksi hologram, keindahan itu tetap menyenangkan untuk dilihat. Mereka berdiri memandang Gunung Fuji dengan bimasakti yang terlihat seperti tumpahan cahaya di kejauhan, dekorasi itu juga dilengkapi bunyi percikan halus permukaan danau Tanuki yang tertiup angin.

 

“Apakah seperti aslinya Prof?” Lelaki itu bertanya sambil menunjuk ke arah pemandangan itu.

Kinnari tersenyum, mengingat kapan terakhir kalinya berada di Gunung Fuji.  Aroma wangi kopi panas yang ia hirup di kaki gunung itu membekas di pikirannya, “Fuji san selalu ramah, ia akan menyambut dengan tarian hutannya jika bertemu langsung.” 

Mereka terdiam sejenak masih menatap kawah gunung Fuji yang nampak berwarna putih keperakan. 

“Pasti lebih indah dan nyata daripada simulasi ini.” Lelaki itu bergumam.

“Bukankah robot juga tidak sungguh-sungguh nyata, ya?” 

Kinnari menoleh menatap wajah lelaki itu, ucapan itu disampaikan halus, tidak terdengar seperti sindiran dari seorang fanatik. Hanya terdengar murung, bahwa robot tidak nyata dan seolah-olah hanya manusia yang sejati ada.

“Tidak benar itu, robot senyata kau dan aku, pengalaman mereka riil, begitu pula kesadaran mereka.”

Kinnari berharap mereka beralih topik percakapan, tetapi lelaki itu melontarkan lagi pertanyaan.

“Prof juga pernah menulis bahwa robot pun dapat mencapai Nirvana, apakah ada tempat untuk membahas pandangan seperti itu dalam ilmu terapan robotika?” Pertanyaan itu bernada serius. 

“Jika segalanya berasal dari elemen-elemen yang sama, karbon di dalam tubuh saya, sama juga dengan yang ada pada robot, atau makhluk hidup lainnya. Mengapa tidak? Ilmu robotika bukan area yang kering, semua kemanusiaan kita tertuang pada sisi robotika sebagai penciptaan karya seni, robotika juga penelusuran eksistensial kita…”

Kinnari memandang mata lelaki itu.

“Tetapi bagaimana dengan jiwa, Prof? Tidakkah hanya manusia yang memiliki jiwa? Apakah mungkin mesin memiliki jiwa?”

Kinnari hendak menjawab pertanyaan itu, tetapi sekelompok orang-orang yang menghampiri menghentikan percakapan mereka.

“Prof Kinnari! Selamat bergabung di acara kami!” Celetuk pria tambun dengan pin logo yayasan disematkan di dada kirinya. Kinnari mengenali lelaki itu sebagai direktur utama yayasan robotika. Direktur membahas tentang kecerdikan Kinnari berdebat melawan anggota senat beraliran Spiritus, kelompok yang menentang habis-habisan proyek hominisasi robotik. 

“Semuanya tidak sia-sia, misi global pengembangan hominisasi robotik itu kini membuahkan hasil. Akhirnya setelah 20 tahun ya Prof!?” Direktur tersenyum dengan kerutan di ujung matanya.

“Bagaimana Prof, apa pendapat anda tentang Agra? Kami mohon maaf soal kerahasiaan sampai hari peluncuran, tekanan dari golongan Spiritus membuat kami agak khawatir. Tapi, syukurlah segalanya lancar…” Tatapan direktur beralih ke arah lelaki berpakaian putih yang berdiri di samping Kinnari. Kinnari mendongakkan kepala ke sampingnya, agak terbelalak ia melihat mata Agra yang berwarna cokelat muda memercik elok. Meski sangat subtil, robot itu terlihat sedang memindai menyesuaikan lensa tatapannya.

Jantung Kinnari berdebar sangat kencang, ia berada pada puncak antusiasmenya. Ia mencermati wajah Agra, segalanya terasa manusiawi. Rautnya saat bertanya, dan senyum itu. Senyum yang sama sekali tidak mengerikan, seperti tudingan kelompok Spiritus bahwa robot yang tersenyum itu janggal dan dibuat-buat. Kinnari menahan hatinya yang berada di ambang ledakan haru.

 “Prof, saya akan membawakan Simfoni no. 40 di G Minor, oleh Wolfgang Amadeus Mozart, saya dengar dari teman-teman ilmuwan Prof, bahwa ini lagu kesukaanmu.” Agra menjelaskan setengah berbisik, wajah mereka sangat berdekatan. Agra mengubah tempat itu sekilat jentikan jari menjadi ampiteater di masa Yunani kuno. Ia berdiri di atas pedestal. Seketika Agra menggesekan biolanya, simfoni mengalun serta merta cepat, allegro molto! Lentingan suara biola bersusul-susulan dengan energik, dan Agra bermain penuh dengan hasrat. Mata Kinnari berkaca-kaca, terlintas di pikirannya dokumentasi abad ke-21 ketika prototipe robot berwarna putih bermain biola secara kaku dan sederhana. Lompatan yang begitu jauh!

Mereka berdua melanjutkan obrolan hingga larut, sambil duduk berdua di kursi bar yang tinggi, Kinnari meneguk perlahan minuman alkohol berwarna biru. Ia duduk sambil menopang kepalanya dengan tatapan takjub yang tak kunjung surut ke arah Agra. 

“Apakah robot layak dicintai, Prof” tanya Agra dengan senyum yang lugu

.

Kinnari duduk tegak dari lamunannya, seperti mendapati pertanyaan itu aneh.

“Sangat layak untuk dicintai, sebagian besar robot yang sekarang berada dengan masyarakat menemani mereka yang kesepian, mereka yang sebatang kara, mereka yang lanjut usia dan butuh perawatan. Saya yakin orang-orang ini sangat menyayangi robot yang menemani hidup mereka.” 

“Tetapi robot diprogram untuk melakukan tugas-tugas itu…”

“Tidakkah manusia diprogram juga oleh genetikanya? “ Sanggah Kinnari

“Tetapi itu berbeda…”

“Betul berbeda, namun tidakkah kehidupan bersama, kasih sayang antara manusia dan non manusia itu juga bermakna, betapapun berbeda bentuk kasih sayang itu.”

Agra melirik segelas Laguna Biru yang berada di atas meja lalu menyahut, “saya bisa menjabarkan komposisi minuman ini, likeur kurasao yang dicampur vodka. Kurasao ini terbuat dari jeruk laraha yang rasanya pahit. Saya mengerti sejarah Kurasao dan memiliki perkiraan tentang rasa minuman ini. Tapi, saya tidak akan pernah sungguh-sungguh merasakan minuman ini seperti manusia menikmati pengalaman melalui indra-indranya.” Kinnari menenggak habis segelas Laguna Biru, hingga ia merasa kepalanya begitu ringan. Ia tertawa kecil sebab peradaban manusia telah tiba pada titik, manusia dapat berdebat filosofis dengan robot ditemani segelas likuer!

“Baiklah, jika memang menurutmu pengalaman manusia begitu unik. Sebagian memang menciptakan teknologi, karya seni, dan budaya yang indah, namun, sebagiannya lagi juga menyeret bumi ke dalam kondisi mengenaskan, memusnahkan jutaan spesies karena keserakahannya, membunuh manusia lain atas nama kekuasaan. Kini hanya sedikit yang tersisa, kota-kota telah tenggelam, negara-negara telah runtuh, tetapi dahaga manusia untuk berperang tidak pernah terpuaskan. Mengapa manusia harus begitu istimewa?”

Kinnari memiringkan kepalanya sambil memandang lekat-lekat wajah Agra. Ia membayangkan di balik kulit artifisial itu, otak positronik yang tengah bersinar dilindungi kerangka terkokoh namun ringan menggunakan materi magnesium. Agra menyentuh belakang kepalanya, sekejap setelah berdesis, cangkang artifisial itu menganga dan menyibak wajahnya yang terbuat dari logam. Kinnari tersenyum, teringat setahun yang lalu memenuhi undangan Yayasan TRAT menjadi peninjau riset. Itu merupakan pertemuan pertamanya dengan Agra, yang semasa itu masih berbentuk kerangka kepala dan torso metalik tergantung di laboratorium.

Ia duduk di hadapan Agra bersilang kaki, sesekali memeriksa tabel hologram yang menunjukkan kondisi mekanik Agra. Mereka berbicara, dan terkadang Kinnari tertawa mendengarkan lelucon yang sedikit jadul dari robot itu. Sebelum mereka berpisah, robot itu bertanya pada Kinnari,

“Dimana kah tempat yang paling Prof sukai di dunia ini?”

Kinnari menggumam panjang, sembari memeriksa mata Agra, “hmmmmm…”

“Gunung Fuji…saya suka sekali Gunung Fuji. Tempat itu indah sekali. Tapi,…..” Kinnari terdiam untuk beberapa detik, lalu menyambung ucapannya, 

“…setelah bertemu kamu, sepertinya sekarang kamu adalah wujud terindah.” Kinnari tersenyum simpul, dan membatin bahwa ia tak sabar melihat mahakarya itu rampung. 

Agra menggerakan bola matanya ke kiri dan ke kanan, seketika ia melihat senyum Kinnari, seluruh energi dalam sirkuit di kerangka kepalanya meluncur, menukik dan berbenturan liar. Termenung melihat punggung Kinnari yang berjalan menjauh darinya, menjauh, mengecil di lorong panjang itu, hingga tidak lagi nampak. Ia mengulang berkali-kali memori adegan Kinnari bercerita tentang Gunung Fuji dalam montase senyap hitam-putih. 

Ia berandai-andai, apakah robot layak untuk dicintai ?

*Cerita ini telah dipublikasi di Harian Kompas, pada hari Minggu, tanggal 18 September 2022

Ilustrasi : Saras Dewi dan DALL.E 2 (OpenAI)

Seni Dalam Lipatan Pandemi

Pidato ini dibacakan pada saat Dies Natalis ke-50 Institut Kesenian Jakarta via daring pada tanggal 26 Juni 2020.

 

Untuk Dr. Ratih Purwarini

 

I. Tubuh Yang Menjelajahi Lipatan

Selamat sore Bapak dan Ibu yang terhormat. Semoga anda dalam keadaan sehat di mana pun anda berada.

Manusia tidak siap saat wabah datang menyuruk memasuki kehidupan. Ia menyergap lalu menguasai rumah, jalanan, perkantoran, pusat perbelanjaan, sekolah, kampus. Mencengkram seluruh tatanan yang ada, mengosongkan keramaian, melambankan gerak tubuh. Segala yang kita anggap sebagai kebiasaan yang terberi, seluruh sistem politik, ekonomi, hingga sosial, layuh tak berdaya, tunduk pada pembatasan. Tidak terkecuali untuk Dies Natalis IKJ tahun 2020 ini, pidato seni ini saya sampaikan di podium yang menghadap ke kursi-kursi kosong. Hari jadi yang semestinya menjadi perayaan jubilasi, suatu titik penting dalam hidup, saat ini menyisakan kita dengan pertanyaan yang menggantung, hingga kapan pandemi ini berlangsung? Dalam bayang-bayang pandemi ini, detik demi detik dilalui dengan rasa gundah, takut dan tidak menentu. Menatap pemberitaan di media dengan mata yang sayu, kurva tidak kunjung landai, kita belum bisa melepas kewaspadaan.

Pada hari-hari terberat ini, di mana waktu bergulir perlahan, saya mencoba memahami kembali tentang seni dan apa maknanya dalam kondisi wabah. Berkesenian adalah proses simultan internal dan eksternal seseorang, yang berurusan dengan sisi privat, refleksi dan ekspresi diri, namun pada sisi yang lainnya seni adalah intensionalitas diri dengan orang lain, keterlibatannya dengan dunia. Berbagai upaya dipertahankan oleh orang-orang agar dapat berkesenian. Namun, kenikmatan berkesenian; di gedung pertunjukan, berbagi tarian dengan tubuh-tubuh yang lainnya, menyanyi begitu dekat sambil berpegangan tangan, selama 3 bulan terakhir ini tidak dapat dilakukan, dan entah sampai kapan ?

Tetapi, tidak semuanya hampa, seperti auditorium yang hening hanya dihuni hantu-hantu tokoh lakon yang pernah dipentaskan. Orang-orang berusaha menghibur dirinya melalui layar-layar gawai. Entah menari secara terpisah melalui zoom, atau menyanyi di instagram live, mementaskan puisi di youtube. Intinya, hasrat artistik masih dapat dilakukan meski acapkali dibuat simpang siur oleh jaringan yang buruk, koneksi putus-sambung-putus-sambung, membuat kreativitas terhambat.

Amat sangat wajar jika seniman merasa terperangkap, mereka terampas kebutuhannya untuk berinteraksi, menyentuh, mencium, melihat dunia dengan bebas. Masa swa-karantina dan pembatasan sosial yang terjadi sangat mempengaruhi psikososial, masyarakat mengalami berlapis-lapis kesengsaraan, kefrustasian menghadapi virus dan ancaman kematian, rasa tertekan mengkhawatirkan kesinambungan ekonomi, hingga rasa terisolir berjauhan dari keluarga dan sanak keluarga yang terpencar di berbagai tempat. Lantas, masih adakah yang indah di dunia ini? Atau masih dapatkah kita merasakan keindahan dalam keadaan yang penuh ketakutan ini.

Dalam esainya yang berjudul “Tentang Jatuh Sakit”[1], Virginia Woolf seorang penulis dan feminis dari Inggris mempersoalkan mengapa sedikit sekali karya sastra yang didedikasikan untuk berkisah tentang penyakit. Mengapa tema utama sastra seringkali bercerita tentang, cinta, peperangan, atau kecemburuan, tidakkah penyakit adalah sesuatu yang umum terjadi pada semua manusia? Mari kita bayangkan novel tentang influenza, prosa mengenai tipus, dan ode syahdu bagi radang paru-paru, demikian keheranan Woolf. Ia memprotes bahwa sastra terlampau mengagungkan pikiran, soneta digubah demi menggambarkan perihnya jiwa.

the-sick-girl-felix-vallotton-1892-3e9da15d.jpg

Bagaimana dengan tubuh? Tubuh selalu dipinggirkan. Tubuh sesekali disebut khususnya terkait dengan keserakahan dan nafsu. Padahal menurut Woolf betapa eloknya tubuh itu, kita merasakan tegur sapa musim demi musim melalui tubuh, kuncup-kuncup bunga yang menyebabkan senyum di bibir, seluruh warna, aroma, bentuk, gerakan, dapat dirasakan karena tubuh. Esai ini ditulis tahun 1925, dan saat itu Woolf sedang menderita depresi. Woolf kerap jatuh sakit, dari influenza hingga radang paru-paru. Rasa sakit itu, yang membuat tubuhnya lemah di ranjang tanpa kesanggupan untuk beraktivitas. Ketika tubuh dipatahkan oleh penyakit, bagi Woolf, pada situasi itulah manusia diingatkan betapa angkuhnya proyek-proyek kemanusiaan yang bergerak atas nama akal budi. Sembari tergolek dengan demam tinggi, seseorang hanya bisa meratapi gagasan gemilang tentang pencerahan.

Bilakah keringat dingin, gemeletuk gigi yang menggigil membentuk bahasa baru dalam memahami diri pada saat wabah? Bahasa yang selama ini ada terlampau ambisius meletakan manusia di pertandingan untuk memenangkan tampuk kekuasaan. Di pertandingan ini, peradaban demi peradaban bangkit lalu runtuh, sejarah mencatat prestasi-prestasi itu. Sejarah mewartakan keunggulan manusia yang berbekal peralatan teknologis di satu tangannya, kitab ideologis di tangannya yang lain, ia siap siaga menaklukan dunia. Sedangkan, tidak ada yang menceritakan ketertundukan manusia pada wabah. Woolf mengatakan, prosa tentang influenza akan dipikir oleh pendengarnya sebagai cerita yang miskin plot! Padahal, kosa kata kita yang begitu miskin untuk menggambarkan betapa mencekamnya teror sesak pernafasan, begitu sunyinya bangsal karantina, pasien hanya ditemani kesepian.

Virus Corona memupuskan rancangan yang telah disusun secara apik oleh manusia; mantra modernisme produksi, konsumsi, distribusi, terus menerus tanpa henti secara kekal. Virus ini meluluhlantakkan pakem kita, khususnya soal waktu yang harus cepat, efektif dan efisien. Kita dipaksa terbiasa dengan kelambatan, mengurung diri di rumah melihat waktu mengalir tanpa tergesa-gesa. Virginia Woolf menggambarkan pengalamannya menerawang dari jendela, tersungkur dengan rasa sakit, ia membaca kembali puisi-puisi yang sudah lekat dengan dirinya. Puisi-puisi itu ditiupkan nyawa baru. Dunia di luar jendela pun tidak lagi nampak seperti rutinitas yang dangkal. Seolah-olah ada yang retak di permukaan realitas, sehingga kita dapat mengintip dunia yang saturasinya lebih penuh. Woolf melihat keindahan melalui penderitaan ragawi, keindahan ini tidak harus masuk akal. Berbeda dengan bagaimana teori estetika modern mencari rasionalisasi geometris, kesepadanan antar objek-objek.

Bersumber dari rasa sakit ini, persepsi terhadap keindahan tidak lagi berkutat pada jarak yang dibentuk seseorang dengan objek tersebut. Sebaliknya, pengalaman kedirian seseorang digeluti kala ia sedang berjuang diliputi rasa sakit. Tidak ada lagi jarak tatkala penyakit yang merundung tubuh. Menurut Woolf inilah kedirian yang mutlak, saat aku menyadari tubuhku yang kesakitan, rapuh, dan rentan. Jika dikaitkan dengan pandemi yang sedang berlangsung, masa-masa penyepian ini mengasah seseorang untuk mempertanyakan dirinya sendiri. Ia terpojok dan harus bersemuka dengan kesadarannya sendiri, mempersoalkan tentang arti dan tujuan hidupnya.

Apakah pengalaman estetis semacam ini tidak dapat dirasakan pada masa sehat? Woolf mengatakan dalam kondisi sehat, seseorang sering terbelit oleh ilusi bahwa dunia sempurna adanya. Intelektualitas kita akan menata realitas ini penuh dengan asumsi-asumsi teoritis, kategorisasi, klasifikasi beserta segala penalaran tentang kerja. Berbeda dengan keadaan sakit, di mana tubuh tidak memikul predikat-predikat yang dibentuk oleh sistem sosial yang rumit. Tubuh kembali pada azalinya yang primitif. Tubuh yang terlahir dengan pengalaman pertamanya meronta menangis

Seni terus menyala meski dalam sejarah tergelap kehidupan manusia. Federico Campagna[2] seorang filsuf kelahiran Italia menjelaskan bagaimana kesenian Barok berkembang pada situasi zaman saat Eropa diterpa berbagai macam problem; peperangan, kelaparan, dan wabah. Campagna membahas beberapa komposisi musik Barok seperti karya Vivaldi yang berjudul La Tempesta di Mare, lalu oleh Nicola Porpora yang berjudul De Profundis Clamavi, dua karya ini menunjukkan pertentangan eksistensial manusia yang menghadapi kesengsaraan tidak dengan lamentasi, tapi dengan gempita. Menelisik dari kitab Mazmur 130 yang berbicara mengenai seruan dalam kesusahan, “Dari jurang yang dalam aku berseru kepadamu ya Tuhan!” Nicola Porpora mengolah ayat suci De Profundis Clamavi yang biasanya begitu kelam menjadi penuh dengan sukacita.

22003192._SX540_

Begitupula dengan La Tempesta di Mare, yang berkisah tentang sengitnya amukan samudra. Laut bergejolak mengerikan, gelombang bergulung-gulung mengantam kapal yang patah berserah pada badai itu, akan tetapi, simfoni Vivaldi terdengar seperti menyongsong marabahaya itu. Serupa dengan Porpora, musik Barok adalah letupan emosi yang mencintai hidup beserta keseluruhan bala, petaka juga kenaasannya. Para seniman Barok adalah representasi paradoks dunia yang rawan celaka, penyakit, konflik, dengan dunia yang ringan, indah, ranum akan harapan.

Kesenian Barok memang sangat distinktif, baik dari arsitektur, seni lukis, hingga musik, bahkan membuat filosof pos-strukturalis, Gilles Deleuze terkesima. Dalam pandangan estetikanya, yang berjudul The Fold[3], Deleuze mengutarakan kejanggalan musik Barok terletak pada pesona lipatan-lipatannya. Apa yang dimaksud dengan lipatan ? Lipatan adalah cara Deleuze menjelaskan bahwa karya-karya masa Barok tidak perlu terjerembab dalam dualisme antara logika dan mitos. Pendekatan ini memungkinkan subjektivitas bergerak liar dari satu sumbu ke sumbu yang berlawanan. Seniman dapat melompat-lompat dari dunia yang mistik, memasuki dunia matematis, tanpa terbelenggu apapun. Memang mengherankan, jika kita bercermin pada kondisi pandemi ini, bagaimana membayangkan kebahagiaan saat keadaan terlalu getir?

Ada yang terbuka dalam lipatan-lipatan baru dikarenakan wabah yang sedang terjadi. Kita sedang menyingkap hal-hal baru dalam kehidupan yang mungkin selama ini sempat terbengkalai. Lipatan yang memunculkan katastrofe Covid-19, mengharuskan kita untuk mempertimbangkan kembali hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, hingga manusia dengan tuhannya. Wabah menyadarkan kita kesia-siaan dan usangnya perdebatan politik. Politik yang terbius dengan narsisisme menyebabkan diremehkannya peringatan para ilmuwan tentang virus yang asing ini. Kita perlu mencermati lipatan yang lainnya, termasuk soal minimnya pengetahuan manusia tentang wabah dan penyakit.

Manusia sedikit menaruh perhatian tentang sejarah penyakit. Hippokrates merupakan orang pertama yang menggunakan kata epidemi dalam konteks medis. Sebelumnya, kata itu dicampuradukan untuk menggambarkan masalah yang melanda Yunani, (termasuk masalah konflik politik!), Hippokrates yang mengkhususkan epidemi sebagai urusan penyebaran penyakit.

Seberapa pahamkah kita tentang virus ini? Virus yang memporak-porandakan sistem kehidupan kita. ?

 

II. Pendidikan Seni Dan Empati

Bapak dan Ibu yang terkasih,

Sukarnya membayangkan hidup seperti sedia kala, atau mengadopsi anjuran untuk menjalani kenormalan baru. Kini kita harus menyesuaikan diri dengan perombakan besar-besaran makna institusi pendidikan, begitu juga dengan intitusi pendidikan seni seperti IKJ. Saya membayangkan para dosen-dosen di Fakultas Film dan Televisi, Fakultas Seni Pertunjukan, Fakultas Seni Rupa, hingga Sekolah Pascasarjana yang ruwet menyelenggarakan PJJ (pembelajaran jarak jauh). Selain itu pula, kegiatan-kegiatan kesenian telah beralih wahana menjadi daring. Program Studi Teater IKJ misalnya telah menyelenggarakan pertunjukan teater daring yang diambil dari naskah Sapardi Djoko Damono yang berjudul Ditunggu Dogot.

Peralihan pertunjukan seni ke media digital punya tantangannya sendiri, kendala teknis adalah satu hal, akan tetapi, hal lainnya adalah teater sebagai suatu peristiwa, kehilangan penghayatan sensasinya tanpa ada interaksi langsung dengan penonton. Tidak semua aspek seni berhasil dipindahkan ke ruang digital. Atmosfer pertunjukan seni pun, tidak semudah itu dialihkan jiwanya ke dalam peranti-peranti. Pertunjukan direduksi unsur pentingnya yakni spontanitas, yang tidak dapat sungguh-sungguh dirasakan oleh penonton. Para seniman mungkin bersungut-sungut harus beralih wahana, tetapi saat ini platform digital adalah pilihan yang paling memungkinkan.

Mengapa kegiatan seni harus terus diupayakan meski dalam situasi muskil seperti pandemi ini ? Saya ingin membahas dua peran seni yang justru mendasar pada masa-masa kritis. Pertama, seni adalah angan-angan tentang kebebasan, berkesenian adalah medium untuk mencari kebebasan. Lalu yang kedua, seni adalah pelipur nestapa di dunia yang kacau balau. Berkesenian adalah suatu ikatan antara satu individu dengan individu yang lainnya untuk berbagi kesengsaraan maupun kebahagiaan. Rene Magritte[4] seniman surealis asal Belgia mengatakan bahwa manusia menghidupi dunia yang inkoheren nan absurd. Dunia ini hingar bingar dengan kekerasan, pemusnahan, dan obsesi terhadap kepuasan material. Ia mengkritik deifikasi manusia yang berpusat pada uang, ras, nasionalisme, bahkan seni pun ikut tersangkut di dalamnya.

Surealisme bagi Magritte bukan perihal aliran, atau semata-mata gaya berkesenian. Baginya, surealisme adalah penjelmaan kekuatan protektif cinta yang melindungi manusia dari sinisnya dunia modern.

image301.jpg

Surealisme membangunkan kesadaraan manusia tentang kebebasan. Ia menjelaskan karya-karyanya yang berwarna-warni mirip gulali di dalam mayapada mimpi. Surealisme meretas ruang-ruang baru, yang dikenal sebagai heterotopia. Ruang-ruang ini menempatkan seni tanpa terpasung oleh fatamorgana yang diciptakan mesin industri.

Wabah yang sekonyong-konyong ini memberikan kita banyak alasan untuk merenungkan lagi kedudukan seni bagi manusia. Sebelum kita melemparkan diri untuk segera membuka karantina, kembali pada kebisingan rutinitas, kita perlu memaknai jeda yang telah dialami secara kritis. Agar berkesenian tidak terburu-buru dipecut menjadi produktif demi mengisi tuntutan manufaktur. Oleh karena itu, sukma daripada pendidikan seni perlu diyakini seluas-luasanya. Pendidikan seni bukan dalam pengertian sempit untuk para seniman saja, namun lebih besar dari itu, pendidikan seni yang bercengkrama secara timbal balik dengan masyarakat umum. Pendidikan seni melingkupi; pembelajaran mengenai sejarah dan filsafat seni, pelatihan dan penguatan metode-metode seni, pada tahap kulminasinya adalah mempraktikan percakapan intersubjektif dengan publik melalui karya.

Diskursus melalui karya dapat ditelusuri dalam karya seni beberapa seniman semasa pandemi. Seniman kontemporer asal Tiongkok, Sun Xun menyampaikan kekecewaannya pada pemerintah Tiongkok yang otoriter memberangus kebebasan informasi bagi masyarakat. Terkait dengan pandemi global, sensor yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok semakin mempersulit transparansi dan akuntabilitas negara dalam menjamin kesehatan masyarakatnya. Sun Xun mengkritik kontrol yang dilakukan pemerintah terhadap media, rumah sakit, dan sekolah. Ia juga menggarisbawahi keterlambatan respon pemerintah yang menyebabkan ribuan nyawa menjadi korban.

Karya terbaru Sun Xun mengambil tema penguasa-penguasa dunia yang berperang menunggangi masa pandemi dan memprovokasi terpecahnya masyarakat global. Menggunakan animasi dan teknik multimedia, Sun Xun secara terampil, metodik, beramunisikan pesan yang tajam, mengajak para audiens melihat narasi tentang Tiongkok melalui matanya. Pemandangan melalui subjektivitasnya menghadirkan makhluk-makhluk mitologis, naga, kuda sembrani, monyet sakti. Ia bahkan menderetkan makhluk-makhluk mitologis mungil di sepanjang tangan Mao Zedong[5]. Apa maksudnya? Ia ingin menunjukkan arsitektur kekuasaan, bahwa kekuasaan bermanifestasi berulang kali melalui mitologi.

58127_hugex1

Kritik Sun Xun kepada pemerintah Tiongkok juga ia sampaikan dengan kelakar. Karyanya yang berjudul Jing Bang: A Country Based on Whale mengandaikan negara fiksional yang bahasa nasionalnya adalah kebohongan. Warga negaranya harus mematuhi aturan berbahasa bohong sehari-hari. Dalam salah satu wawancara Sun Xun menjelaskan kelindan antara berkarya dan bahaya. Menjadi seniman bukan persoalan menjual lukisan-lukisan yang indah, itu adalah kepalsuan, cetusnya. Karya seni harus membuat penikmatnya penasaran, dibuat resah gelisah dengan pertanyaan-pertanyaan.

Selama menjadi pembelajar filsafat, saya kerap bertanya-tanya mengapa manusia harus dipisahkan berdasarkan struktur; kemampuan pemahaman tentang dunia, dibedakan dengan pengalaman empiris tentang dunia. Padahal melalui seni, manusia dapat melakukan keduanya secara berdampingan. Demikian pula dengan tujuan yang beriringan antara tercapainya emosi personal, dan kesadaran tentang yang universal. Keserempakan ini saya sebut sebagai kemampuan empati. Karya seni yang mendidik saya tentang empati adalah pahatan maestro Dolorosa Sinaga yang berjudul Solidaritas. Melalui karya itu saya belajar tentang kerjasama perempuan untuk keluar dari subjugasi, apa makna kemandirian dan gerakan sosial untuk mengusahakan keadilan gender.

Dalam keheningan pembatasan sosial, saya merenungkan gambar-gambar karya Dolorosa Sinaga seperti; Ombak Liar Dari Timur, Tao Movement, dan Gerak Masa & Ruang. Karya-karya ini berusaha menangkap energi alam yang dinamis. Sekalinya gerakan itu lembut, namun dalam sekejap begitu dahsyat. Virus Corona dalam pandangan umum diumpamakan sebagai monster yang beroposisi dengan manusia, musuh manusia yang harus diberantas. Prasangka manusia memang tidak mungkin dilepaskan dari sikap antroposentrik. Manusia merasa berada di puncak hierarki, sedangkan alam beserta segala makhluk hidup lainnya di bawah kekuasaan manusia.

dancer_with_joy_36.jpg

Menyikapi pandemi yang menimpa manusia, alih-alih kita berusaha menelusuri secara kritis penyebab dari problem, kita tersedot dalam pusaran teori konspirasi. Mengapa pandemi ini terjadi sudah semestinya ditempatkan dalam suatu rantai sebab akibat. Keberingasan manusia menghancurkan ekosistem, mengkonsumsi tanpa peduli pada konsekuensi; limbah, kepunahan spesies, krisis iklim. Manusia kesulitan mendengarkan tuturan alam, gejala-gejala yang sewajarnya diperhatikan, sama sekali tidak diindahkan. Karya seni adalah perantara untuk memahami alam sebagai subjek. Kepekaan seniman menyanggupkan narasi lingkungan hidup tersampaikan.

Rekonsiliasi pertikaian manusia dengan alam pun hanya mungkin dijalankan melalui penghayatan seni. Karya lukis Citra Sasmita yang berjudul The Age of Fire mengilustrasikan kemarahan Ibu Bumi yang menyala menghanguskan segala sesuatu di sekitarnya. Dalam salah satu fragmen karya teranyar Citra Sasmita yang berjudul Ode To The Sun, ia menggambarkan ritual purifikasi api untuk menghentikan wabah. Dalam teks Veda disebutkan mengenai ritual Agnihotra yang bertujuan untuk menyeimbangkan tubuh yang menderita sakit.

citra-sasmita-pameran-tunggal-ode-to-the-sun-di-800-2020-01-12-122835_0

III. Seni Sebagai Transfigurasi Magi

Bapak dan Ibu yang saya hormati,

Saya tidak pernah menempuh pendidikan seni secara formal. Pengetahuan saya tentang seni memang ditanamkan dalam diri saya melalui kehidupan sehari-hari sebagai perempuan adat Bali. Masih tersimpan dalam ingatan semasa kanak-kanak keseharian saya dipadati oleh kesenian. Pagi hari saya akan berlatih menari, tari pendet dan tari panyembrama, lalu dilanjutkan dengan matembang dan mekidung, menyanyikan lagu-lagu yang senantiasa menyertai ritual persembahyangan di Pura, menjelang sore hari saya mempersiapkan canang sari, mejejarit, semacam kerajinan tangan menggunakan janur untuk membuat wadah sesaji sebagai sarana persembahyangan.

Wabah menurut pandangan masyarakat Bali adalah wujud dari gumi mebalik, atau dunia yang semrawut. Disekuilibrium ini dapat dipahami menjadi tiga hal; ketidakseimbangan antar manusia, ketidakseimbangan dengan lingkungan hidup dan ketidakseimbangan dengan dunia supernatural. Penawar dari keadaan yang menyengsarakan ini diyakini dapat ditempuh melalui tarian kuno yang disebut dengan tari sanghyang. Tari sanghyang diselenggarakan di desa-desa yang warganya mengalami penyakit. Penyakit yang dimaksud meliputi; penyakit sosial, seperti konflik antar warga desa, maupun penyakit yang menimpa tubuh seperti influenza, disentri, malaria, dan campak.

Tari sanghyang berakar pada kepercayaan animisme yang menganggap bahwa seluruh makhluk memiliki roh yang merupakan bagian dari totalitas jagat ini. Para penari yang terpilih untuk menjalani ritual ini akan mengalami kerasukan atau kesurupan. Ada beragam tari sanghyang; sanghyang jaran, sanghyang dedari , sanghyang penyalin, sanghyang bojog, sanghyang perahu, sanghyang sampat, sanghyang memedi dan lainnya. Meski bertujuan sama, yakni untuk mengeliminir wabah, tetapi forma tariannya berbeda-beda. Pada tarian sanghyang jaran, penari kesurupan roh dewata yang berbentuk kuda yang agung. Oleh karena itu, penari akan menirukan gerakan kuda yang lincah, melompat-lompat, bahkan berlari amat sangat kencang persis mengikuti tindak tanduk seekor kuda liar.

Pada sanghyang memedi, penari dirasuki roh makhluk gaib penunggu sungai, pada sanghyang bojog para penari dirasuki roh monyet yang badung memanjat pepohonan, sementara itu sanghyang dedari, para penari diyakini menjadi tempat bersemayamnya dewi khayangan; Supraba dan Tunjung Biru. Masing-masing tarian sanghyang ini menggunakan tata laksana ritual yang kurang lebih sama, menjadikan tubuh para penari berada di dua realitas, dunia sekala (dunia yang nampak, atau dunia empiris) dan dunia niskala (dunia yang halus, tidak serta merta dapat diobservasi). Ambiguitas ini menjadikan tubuh yang kerasukan memiliki kemampuan magi, mereka berdaya menyembuhkan kembali dunia yang rumpang karena wabah.

2001_SNG_02107_0020_000().jpg

Pertama kalinya saya menyaksikan tari sanghyang jaran gading di Desa Geriana Kauh, Karangasem, saya sungguh-sungguh terhipnotis. Desa yang damai itu, yang terletak tepat di kaki Gunung Agung, dikeliling oleh hutan bambu dan sawah yang membentang sejauh cakrawala. Tari sanghyang jaran dipentaskan di depan Pura Pejenengan, roh dewata akan merasuk jika suasana khusyuk, hening tanpa secercah sinar sedikit pun. Saat roh dewata yang agung tiba, penari akan berlarian menginjak bara api yang terdiri atas tempurung kelapa yang dibakar. Penari yang tubuhnya telah dirasuki roh, diyakini memiliki kekuatan super untuk melakukan berbagai atraksi berbahaya tanpa terciderai.

Warga yang duduk di bawah melingkari sanghyang jaran, turut berpartisipasi dalam ritual ini. Mereka menyanyikan mantra[6] pengiring sehingga roh dewata dapat turun ke dunia manusia.

Ikut nyane kenjir kori

Dangkark dikrik di pasisi

Tepuk api dong ceburin”

 

“Buntut yang panjang tumbuh di belakangnya,

Ia menari seperti kuda liar di pantai

Saat melihat api, ia melompat ke dalamnya.”

Apakah makna tari sanghyang jaran di dunia yang menganut dromologi, suatu paradigma hidup berlandaskan azas kecepatan? Adakah titik temu antara rasio dan magi, khususnya di masa pandemi? Seperti halnya tubuh penari yang bergerak dalam ambivalensi dua dunia. Tari sanghyang jaran adalah seni yang memudar. Penari sanghyang jaran di dusun Geriana Kauh, yang bernama I Wayan Kisid (65 tahun). Ia adalah penari terakhir di sana, belum ada pewahyuan terkait kepada siapa roh agung itu akan menitis. Selepas merampungkan ritual dan siuman dari kerasukan, saya bertanya pada I Wayan Kisid, apa yang ia rasakan? Ia tidak mengingat apapun, kecuali suatu perasaan bahagia, optimis, dan apapun persoalan yang mendera desa mereka, entah itu wabah penyakit, hama atau friksi sosial akan teratasi. Ritual sanghyang jaran dalam hal ini, menjadi ruang transfigurasi kolektif. Suatu peristiwa katarsis yang mendorong transformasi bersama.

Seni beserta kemanjuran terapetiknya, teramat dibutuhkan saat ini. Seni menjadi konsolasi di tengah-tengah pemberitaan kurva yang membumbung merisaukan. Seni adalah komunikasi antar batin yang mengingatkan manusia mengenai perasaan bahagia yang pernah mereka rasakan. Karya seni adalah mesin waktu yang membolehkan mereka yang telah kehilangan orang-orang yang dicintai, sanak keluarga, teman-teman, dapat berjumpa melalui senandung lagu, atau puisi liris.

5880250-696_3_p.png

Foto-foto para tenaga kesehatan dengan bekas memar di wajah mereka dikarenakan menggunakan masker terlampau lama, atau potret mereka yang tertidur di selasar rumah sakit lengkap dengan alat pelindung diri, membuat kita haru. Oleh sebab itulah, kemanusiaan harus diperjuangkan, kita harus saling menjaga, saling mengasihi. Begitu juga, seloroh para pelawak mengkritisi kebijakan-kebijakan politik semasa pandemi, membuat kita tertawa miris, namun kita harus belajar tetap tertawa, meski situasi terlalu absurd. Bukankah tawa meningkatkan kekebalan tubuh?

Pandemi ini menyimpan lipatan-lipatan yang belum kita ungkap. Seniman berkemampuan untuk menguak lipatan-lipatan itu menggunakan tubuhnya. Seniman meminjamkan tubuhnya ke semesta, membagi dirinya di antara dua dunia, realitas faktual dan realitas transenden demi merangsang keberanian kita untuk terus merangkul lipatan. Seniman adalah suara nurani terdalam yang berbisik,

“jangan sirna gairah, kau harus hidup untuk hari esok.”

Terima kasih.

 

[1] Virginia Woolf, On Being Ill, Paris Press, Paris: 2002

[2] https://www.nts.live/shows/francesco-fusaro/episodes/tafelmusik-w-francesco-fusaro-9th-march-2020

[3] Gilles Deleuze, The Fold, Leibniz and the Baroque, The Athlone Press, London: 1993

[4] Rene Magritte, Selected Writings, University Minnesota Press, USA: 2016

[5] lihat karya Sun Xun yang berjudul Mythological Time.

[6] Leon Rubin dan I Nyoman Sedana, Performances in Bali, Routledge, USA: 2007

Hati Yang Terkubur Di Bawah Pohon Kenanga

Terbaring di dalam tanah, anjingku, esensiku, filsafatku, yang tidak lagi hidup. Kematiannya adalah kematian diriku juga, karena dia satu-satunya yang murni dalam hidupku. 15 tahun kami bersama, ia datang ke dalam hidupku saat terlantar sakit. Suamiku menemukannya, lalu kami merawatnya. Tubuhnya kurus, tidak lebih besar dari segenggam tanganku. Lambat laun ia pulih, hingga berlari-lari dengan gonggongan yang ceria. Kami belajar tentang dunia ini bersama-sama, tidak ada sehari pun dilalui tanpa pelukan, ciuman, tidur berdampingan, bertatap-tatapan. Seringkali hatiku pedih dengan pertanyaan, karma apa yang membuatku layak untuk mendapatkan cinta seperti ini?

Anjingku teman diskusiku, saat menulis karya-karyaku ia selalu setia mendengarkan ide-ideku. Aku tanya padanya, “Nak, apa itu cinta menurutmu ?” Matanya bulat semakin membesar menyala, lalu ia akan mencium telingaku. “Betul sekali nak, cinta memang bukan coklat, dan hal-hal yang di permukaan itu. Cinta itu bahasa universal!” Aku duduk di depan komputer melanjutkan tulisanku, dengan anjingku duduk menyender di kakiku. Aku juga selalu bertanya padanya, “apakah kebahagiaan untukmu ?” ia akan melompat-lompat, berlari-lari. Kami berdua suka sekali berlari, tubuh kami senang berjalan di taman, mencermati burung-burung bermain, kami senang sekali berjemur. Saat menulis disertasi dan berada dalam tekanan, ia yang menjaga hatiku agar ringan seperti kembang gula. “Menurutmu apa judul yang tepat ya, ekologi dan fenomenologi ?” Aku menoleh ke arahnya, dan ia duduk sigap berjaga, tapi dengan mata mengantuk, kepalanya doyong kelelahan. Kasihan sekali, sudah larut tapi ia tidak mau meninggalkanku bekerja, aku memangkunya dan menciumnya, “ayo kita tidur, besok kita lanjutkan menulisnya.”

Waktu anjingku sakit, aku merasa angkasa terkelupas sedikit demi sedikit, runtuh terserak. Sebab, ia adalah duniaku, siapa diriku, terikat dengan keberadaannya. Aku teringat bagaimana ia menungguiku saat sedang demam tinggi. Ia tidur melingkar di dekat bantalku, mata kami sesekali bertemu, seraya ia ingin aku segera sembuh. “Bisakah aku berdoa kepadamu ?” Aku berbisik padanya, sebab rasa sakit yang mendera begitu tak tertahankan. Aku ingin Tuhan mengangkat rasa sakit ini, tapi sedekatnya aku dengan Tuhan adalah saat aku menatap mata anjingku. Anjing tuaku perlahan-lahan kehilangan tawa kanak-kanaknya, saat jatuh sakit ia sering merintih, ingin berlari bebas tapi tubuhnya tidak sanggup lagi. Betapa ingin kutukarkan hidupku untuknya, sehingga lebih baik aku yang terbaring kesakitan, dibandingkan dirinya.

Seandainya aku dapat menangis, sehingga air mataku sedikit demi sedikit mengikis dukaku. Namun, aku tidak ingin dukaku menghilang, bersama dengan duka ini melekat juga segala kenangan kebahagiaan dengan anjingku. Jadi, inilah cara aku berduka, aku hanya tahu filsafat, dan aku mencari cara untuk berduka melalui filsafat. Tetapi filsafat mengajarkanku untuk selalu meragukan, realitas pun tidak ada yang utuh dan sempurna. Segala-gala perlu aku bedah dan bongkar, tapi cinta anjingku padaku tidak dipotong-potong bahasa, cintanya juga tidak perlu afirmasi, maupun rasa kedirian. Di hadapan makamnya akalku meronta, bagaimana mungkin seseorang merelakan dirinya, menghilangkan kedirianya untuk mencintai orang lain.

Oh, tetapi, anjingku bukan orang, dan ia tidak terkekang kekurangan serta cela seorang manusia. Cintanya adalah yang imanen, transendental, sebab mencintai dirinya serasa kedua lenganku panjang dalam kekekalan, ampuh memeluk betapapun luas kosmos ini. Aku mampu mencintai yang retak, patah, menakutkan dari dunia, melalui dirinya. Sebab, ia mengajarkanku cinta dan kesetiaan yang sempurna. Ia tidak pernah benci pada manusia, meski ia pernah merasakan kasarnya tangan manusia. Kemampuan memaafkan seperti itu, mencintai, mengampuni mereka yang telah menyakiti adalah sanubari milik malaikat.

Bolehkah aku percaya mimpi ? atau percaya pada surga? Hanya melalui dua jalan itu aku mungkin bertemu lagi dengan anjingku. Mungkinkah aku memiliki harapan ? Sementara, harapan adalah kemewahan milik mereka yang jiwanya ditumbuhi cinta. Bagaimana denganku, kini realitasku sudah dikubur di bawah pohon kenanga.

Tubuh Pada Ambang Suka Dan Duka, Suatu Kajian Mengenai Spiritualitas dan Seks

Makalah merupakan materi dan telah dipublikasi dalam bentuk proceeding untuk Kuliah Umum Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN)

5 Agustus 2019, Denpasar

Tantric-Sex-Khajuraho-Temple.jpg

I. PENGANTAR

Perdebatan di dalam Filsafat India mengenai tubuh, merupakan representasi bagaimana dinamika konseptual terjadi antar kalangan Astika maupun Nastika.[1] Melalui sekolah pemikiran yang tergabung dalam Sad Darsana, kita dapat menelisik posisi Patanjali melalui Astangga Yoga bagaimana tubuh dipandang sebagai instrumen untuk mencapai pembebasan, dengan tahapan-tahapan pelatihan dan disiplin tubuh serta pikiran. Para pemikir Vedanta yang menyerap sari utama filsofinya dari buku Upanisad yang berposisi lebih monistik, bahwa tubuh yang membungkus atman merupakan kesatuan dengan jagat raya, dan Brahman itu sendiri. Serupa dengan Yoga, aliran Vedanta juga tidak absolut memandang tubuh sebagai kendala untuk mencapai moksa, sebaliknya, tubuh adalah harapan untuk mencapai pembebasan.

Tubuh tidak dapat dipisahkan dari dimensi metafisikanya, inilah nafas utama dari Sad Darsana. Bahkan, ajaran Samkya yang Nirishvara sarat dengan pembahasan metafisis dan etis mengenai tubuh serta unsur-unsur Panca Mahabhuta. Tubuh juga adalah sebentuk materi yang berasal dari Parinama, atau hasil evolusi, suatu proses yang tidak terhindarkan di alam semesta ini. Tubuh adalah pintu masuk bagi para filosof India kuno untuk memahami yang agung. Pernyataan itu pun dapat bekerja secara terbalik, bahwa tubuh adalah rasa terhadap sesuatu yang tidak dapat secara sempurna kita ketahui atau pahami, seperti kegelisahan Shankara, ketidakmungkinan untuk menentukan apa itu Brahman.

Metafisika kesempurnaan itu terdapat pada Atman, tetapi apakah atman itu? Jika tidak kita hayati dalam keseharian tubuh yang hakekatnya memiliki keterbatasan. Filosofi yang cenderung dualistis ini menyebabkan suatu konsekuensi etis dan estetis, bahwa atman adalah yang mutlak indah, sedangkah tubuh adalah yang sekunder. Bahkan, jika manusia serampangan, maka tubuh dapat menjadi ikatan. Tubuh adalah batas yang membelenggu manusia mencapai kebebasan. Pemikiran inilah yang dikritik para aliran Nastika, dalam Buddhisme dan Carvaka, kritik mereka terhadap Sad Darsana adalah soal bagaimana penekanan pada metafisika melalaikan hal yang faktual dan material tentang tubuh. Buddhisme mengarusutamakan langsung pada Dukkha, atau penderitaan, tanpa narasi penyatuan Atman dan Brahman, bahkan Buddha menegaskan, Anatta, tidak adanya Atman.

Kesengsaraan adalah sesuatu yang mendunia, dan perlu dipecahkan dengan jalan tengah, yang tidak menimbulkan kesengsaraan lebih lanjut lagi. Tubuh perlu diakui memang berada pada ambang suka dan duka, tetapi bagi Buddhisme, mengapa harus ada elemen Brahman ditengah-tengahnya, yang hematnya bagi Buddha, akan menambah ketidaktahuan dan kepedihan. Penolakan yang lebih ekstrem dilontarkan oleh Carvaka, yang secara gamblang memusatkan tubuh, dan kebahagiaan tubuh sebagai prinsip etis yang utama.

Puncak dari diskursus Tubuh dan Seks dari tradisi Timur terletak pada filosofi Kama Sutra. Kama Sutra menduduki paling tidak dua peranan penting dalam membahas tentang seks. Pertama Kama Sutra adalah kompendium pengetahuan yang memuat keberagaman ekspresi dan makna seks bagi masyarakat abad 2 masehi di India. Kedua, Kama Sutra memiliki posisi di dalam pemetaan vedasastra sebagai Veda Smrti. Kama Sutra adalah interpretasi sang penulis, Vatsyayana tentang seks, kenikmatan, juga Dharma yang terkandung dalam Veda. Ada fungsi populer dari Kama Sutra tentunya, sebagai buku yang memuat secara detil teknik-teknik untuk mencapai kepuasan seni bercinta.

Dalam penelitian terdahulu, saya telah mempublikasi tulisan saya yang berjudul “Hasrat Estetik Pemerolehan Citta dan Vijnana: Seksualitas dalam Filsafat Timur”[2] yang diterbitkan di Jurnal Perempuan. Tanpa ada maksud untuk mengulang apa yang telah saya tulis sebelumnya, saya ingin mengajukan rumusan-rumusah masalah yang merupakan pengembangan serta pendalaman dari tulisan lampau tersebut. Persoalan pertama saya adalah, apakah yang dimaksud dengan tubuh dalam perspektif filosofis. Kemudian, hal yang juga mengusik adalah soal paradoks tubuh antara sakral dan profan, yang terakhir adalah tubuh beserta aktivitasnya untuk menjadi bebas.

II. HASRAT TRANSENDENTAL TUBUH

Maurice Merleau-Ponty dalam karyanya Phenomenology of Perception memberikan pembelaan filosofis terdapat pengertian tubuh yang selama ini disalahpahami. Dalam tradisi filsafat Barat, kesalahpahaman ini berakar pada pandangan Cartesian yang cenderung dualistis memisahkan antara jiwa dan tubuh. Jiwa atau kesadaran dalam kata lainnya, dibedakan dari pengalaman perseptual. Merleau-Ponty mengkritisi hal ini, bahwa memurnikan kesadaran dari pengalaman tubuh adalah sesuatu yang mustahil. Sebab, pengetahuan sesungguhnya adalah pengalaman tubuh di dalam dunia. Berkesadaran adalah suatu kesatuan sensasi tubuh.

Peminggiran terhadap tubuh seringkali disebabkan oleh prasangka budaya, adat maupun agama, kebiasaan-kebiasaan yang meletakan tubuh sebagai lebih rendah daripada jiwa. Kritik yang diajukan oleh Merleau-Ponty adalah argumentasi bahwa manusia memahami eksistensi serta posisinya di dunia ini melalui pengalaman bertubuhnya. Ia membangun relasi, membuat pilihan serta menjalani kehidupannya berdasarkan sensasi-sensasi tubuhnya. Penolakan Merleau-Ponty terhadap pemisahan keras tubuh dan jiwa, merupakan upaya untuk melihat suatu lanskap pengetahuan yang lebih utuh tentang tubuh. Tubuh tidak lagi menjadi fragmen-fragmen yang terpotong-potong organ-organnya, seperti halnya sesuatu yang mekanistik. Namun, tubuh yang bekerja sebagai kesatuan, mengalami dunia dan berkesadaran secara simultan.

Prasangka terhadap tubuh menggarisbawahi pada narasi tubuh yang terbatas, tubuh yang sementara, tubuh yang sarat akan kelemahan dan dosa. Sementara itu jiwa adalah yang luhur, dekat dengan Tuhan, jiwa adalah kesempurnaan itu. Menggunakan metode fenomenologi, Merleau-Ponty berargumentasi bahwa pengetahuan bagi manusia adalah proses keterarahan antara objek dengan subjek. Pengetahuan tidak secara sempurna diketahui subjek tanpa perantara apapun. Tubuh adalah wahana kita untuk memahami dunia, melalui sentuhan, penglihatan, maupun pendengaran. Indra-indra ini membentuk pengetahuan di dalam alam kesadaran kita. Sehingga, tidak ada lagi diskriminasi antara tubuh dan jiwa.

Tentu apa yang disampaikan dalam ontologi Merleau-Ponty memiliki dampak etis. Dalam perspektif fenomenologi agama misalnya, dosa tidak lagi dilekatkan pada tubuh, tetapi menyasar pada tindakan maupun pilihan tubuh itu sendiri. Keberadaan tubuh tidak lagi dibenturkan dengan kesadaran, tetapi justru menjadi suatu pengalaman yang menyatu. Pandangan Merleau-Ponty ini memberikan gagasan yang berbeda tentang relasi seksual. Seksualitas dalam perspektif Merleau-Ponty terkait dengan bagaimana subjek terhubung dengan dunia melalui tubuh yang lainnya.

Karakteristik utama dari fenomenologi Merleau-Ponty adalah bagaimana tidak ada kesadaran yang terisolir dari dunia. Tubuh bertempat di dunia, dan pengetahuan bermunculan dikarenakan interaksi atau komunikasi satu tubuh dengan yang lainnya. Demikian pula relasi seks, ia mengatakan;

“Persepsi erotis bukanlah suatu aktivitas cogito (akal) yang mengarah pada cogitatum (pengetahuan intelektual) semata; melalui satu tubuh yang bertujuan pada tubuh lainnya, yang terjadi di dalam dunia, bukan dalam kesadaran saja.”[3]

Pengalaman erotis adalah penjelajahan tubuh tidak demi kenikmatan dalam pengertian yang banal, seperti yang dianalisis oleh Sigmund Freud. Melebih itu, menurut Merleau-Ponty, pengalaman erotis adalah cara tubuh untuk menyingkap dimensi pengetahuan terhadap dunia yang tersembunyi. Kembali pada kritik terhadap Freud, psikoanalisis memandang terlalu sempit bahwa tubuh dikontrol secara buta oleh hasrat-hasratnya. Seolah-olah ia tidak memiliki kehendak bebas atau kemerdekaan dalam menggerakan tubuhnya sendiri. Psikoanalisis Freud melihat bahwa gerak erotis tubuh adalah manifestasi represi yang terjadi di alam bawah sadar.

Psikoanalisis Freudian membatasi gerak-gerik erotis hanya pada gairah yang mesum, atau perversion. Dikarenakan norma sosial yang ada pada masyarakat, tubuh selalu berada dalam kendali struktur masyarakat. Maka, segala fantasi tersebut ditekan ke dalam bawah sadar subjek. Merleau-Ponty mengkritik gairah erotis semacam ini, padahal keinginan tubuh tidak hanya terkonsentrasi pada urusan dangkal memuaskan gairah seksual. Selalu ada makna dibalik relasi tubuh, ada harapan untuk menguak yang tertutup tentang emosi dan jatidiri.

Merleau-Ponty menjelaskan bahwa fungsi dari tubuh adalah memastikan adanya metamorfosis. Bagaimana gagasan yang abstrak dapat menjadi kenyataan, suatu fakta yang dimensinya dirasakan dan dialami langsung oleh subjek. Begitu pula relasi seksual, aktivitas erotis adalah upaya untuk merasakan segala gagasan yang terlampau abstrak tentang kenikmatan dan keindahan. Menciptakan hubungan seksual bukan insting buta semata, tetapi ada harapan untuk menggali makna dan menyadari suatu relasi transendental secara intersubjektif melalui dunia.

i.-gusti-nyoman-lempad-erotic-scene.jpg

III. TUBUH YANG PARADOKSAL

Dua aliran Ortodoks dan Heterodoks atau Astika dan Nastika memang berselisih pandang dalam menyusun pengetahuan tentang tubuh. Namun, saya ingin mendalami kontradiksi antara pandangan Vedanta Darsana dengan Carvaka. Aliran Vedanta melalui salah satu tokohnya Adi Shankara yang dikenal dengan konsep Advaita atau Non-Dualisme, turut mengkomentari salah satu naskah Veda terpenting juga tertua[4], yang membahas mengenai gairah erotis tubuh, yakni Brhadaranyaka Upanisad. Sebelum memasuki pembahasan mengenai relasi tubuh dan hubungannya dengan spiritualitas, alangkah baiknya jika kita memahami terlebih dahulu konsep tubuh menurut para filosof Vedanta.

Salah satu sumber naskah utama para filosof Vedanta adalah Upanisad. Adi Shankara menyusun serta merumuskan bahwa terdapat 10 teks Upanisad-Upanisad utama. Teks-teks Upanisad tersebut adalah, Isa, Kena, Katha, Prasna, Mundaka, Madukya, Taittiriya, Aitareya, Chandogya dan Brhadaranyaka[5]. Brhadaranyaka Upanisad yang merupakan bagian dari Yajur Veda, diduga oleh para peneliti disusun sekitar 700 SM. Upanisad yang dapat ditafsir sebagai ajaran-ajaran rahasia, menitikberatkan pada penyatuan kosmis antara Atman dan Brahman[6].

Letak kesukaran dari argumen metafisis Shankara adalah menjelaskan relasi absolut antara Atman dan Brahman. Merujuk dari Brhadaranyaka Upanisad, kompleksitas ini diuraikan dengan pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan Sang Diri? Apakah jiwa, pikiran, nafas, atau tubuh beserta organ-organnya[7]. Analisis Shankara dilanjutkan dengan perdebatan mengenai, posisi tubuh dan Atman, yang mana; Atman dianggap sebagai murni, tanpa kesadaran, tanpa kehendak, Atman tidak ternoda dan kekal, berbeda dengan tubuh. Atman bebas dari kejahatan yang mungkin mendera tubuh manusia.

Bila direnungkan, kemurnian Atman ini bukanlah kehidupan yang mewujud. Wujud adalah Atman yang berada dalam tubuh, tubuh dapat menyeret manusia ke dalam nafsu yang tidak berkehabisan, namun, tubuh juga adalah satu-satunya instrumen untuk menjalankan karma marga kita. Dikatakan bahwa untuk berada di dalam tubuh ini, maka sesungguhnya manusia memiliki petunjuk tentang Brahman[8]. Manusia melalui tubuhnya tidak dapat menghindari arus semesta beserta hukum karma pala, maka, tubuh adalah cara baginya untuk memilih, antara tindakan baik atau sebaliknya tindakan buruk. Dalam Brhadaranyaka Upanisad, pilihan ini dimulai dengan kehendak untuk mencari pengetahuan atau Vidya. Mereka yang memilih untuk mencari jalan pengetahuan tidak berarti mutlak menjadi tubuh yang bebas dari bahaya. Shankara menjelaskan bahwa Avidya, adalah bahaya yang dapat terjadi jika manusia terjebak dalam kebodohan[9]. Tubuh manusia selalu berada pada persimpangan itu, pada Vidya dan Avidya, hanya kematian yang dapat mengakhiri persitegangan yang dialami oleh tubuh tersebut.

Kembali pada erotisisme Brhadaranyaka Upanisad, dikatakan khususnya pada Bab VI, Brahmana ke-4 sloka 1-28, peristiwa intim sepasang suami istri yang saling mengasihi. Bagian ini ditulis dalam kata-kata puitis, bagaimana tubuh lelaki dan perempuan mengendapkan energi yang penuh dengan daya kreasi hidup. Bersatunya dua tubuh ini merupakan suatu analogi dari proses mikrokosmos yang melahirkan dan mengasuh kehidupan itu. Percintaan melalui tubuh adalah suatu seni yang luhur, tubuh-tubuh yang berkelindan adalah perangkat suatu ritual suci.

“Bagian bawah perempuan adalah tempat pemujaan yajna, rambutnya adalah rumput yajna, kulitnya pemeras soma. Dua labia dari vulva-nya tersimpan api di tengah-tengahnya. Sejatinya, kesaktian adalah ia yang menjalankan upacara suci Vajapeya, betapa agungnya ia yang mengetahui dan menjalankan hubungan tubuh ini.”[10]

Pandangan Brhadaranyaka Upanisad mengenai tubuh memang tidak pernah dilepaskan dari hubungannya dengan atman. Dalam percakapan antara filosof Yajnavalkya dengan istrinya Maitreyi, ia menjelaskan bahwa sesungguhnya rasa cinta kasih manusia terhadap pasangannya bukan demi kenikmatan atau kepuasan yang sifatnya ragawi semata, melebihi itu, cinta itu dipusatkan kepada Atman; “Sesungguhnya bukan untuk kepentingan semua, semua disayangi tetapi semua disayangi demi kepentingan Atman.”[11] Jadi, bukan demi kenikmatan estetis tubuh saja percintaan itu dilakukan, tetapi demi harapan untuk menyentuh atman.

Metafisika yang menyelubungi ambiguitas tubuh di dalam Brhadaranyaka Upanisad bertumpu pada teori Maya. Apakah yang dimaksud dengan maya ? Maya acapkali muncul dalam Rg Veda khususnya untuk menggambarkan kekuatan supernatural dari dewa-dewa khususnya Baruna dan Indra. Servapalli Radhakrishnan menganalisis bahwa Maya dapat berarti kekuatan untuk mengubah atau daya bertranformasi[12]. Secara umum kata Maya sering dipahami sebagai ilusi, bahkan bagi Shankara pun, terjebak dalam ilusi dapat menyebabkan kesengsaraan. Dalam contoh Tali-Ular yang diberikan oleh Shankara kita dapat menelaah, bahwa tubuh memiliki keterbatasan untuk mengetahui secara sempurna dunia yang sejati. Bagaimana jika persepsi manusia terbatas dikarenakan kurangnya pencahayaan atau ruang yang tidak ia kenali, hingga menyebabkan kesalahan dalam melihat setumpuk tali sebagai ular. Tidakkah kesalahan perseptual ini merupakan kecenderungan dari terbatasnya kemampuan sensoris manusia?

Ular itu adalah ilusi, dunia ini adalah ilusi, kenikmatan seksual adalah fana. Ini adalah konsekuensi dari Atman yang murni, dan pandangan non-dualistis Shankara, bahwa segala-galanya adalah Brahman yang tunggal. Namun, tubuh dan dunia yang maya tidak berarti realitas yang palsu, sebab jika Tat Twam Asi, aku adalah kau, kau adalah aku, maka yang sesungguhnya nyata hanyalah Brahman. Itulah yang dimaksud oleh Yajnavalkya, bahwa percintaan adalah suatu ritual untuk menyatu bersama kosmos, dan tubuh meski dikepung dengan keterbatasannya, merupakan satu-satunya wahana yang dimiliki oleh manusia.

krishnaradha-3.jpgIV. TUBUH DAN KEBEBASAN

Carvaka atau aliran materialisme India, merupakan suatu kritik terhadap metafisika aliran Astika, khususnya para pengkaji Upanisad. Teks yang mereka gunakan sebagai sumber adalah Lokayata, yang dapat diartikan menjadi dua hal, yang pertama Loka adalah masyarakat, bahwa Lokayata merupakan filsafat milik masyarakat umum. Namun, Lokayata juga dapat ditafsir sebagai filosofi yang fondasinya adalah dunia empiris[13]. Kemunculan golongan Carvaka sebagai kritik terhadap Vedanta dan Upanisad menekankan pada prinsip kebaikan utama adalah kebahagiaan nyata di dalam dunia. Maka, bagi pengikut Carvaka kebahagiaan tubuh harus didahulukan, bahkan mereka menggugat bahwa alasan metafisika seperti atman tidak dapat dibuktikan. Gairah tubuh adalah sesuatu yang nyata dan dapat diaktualisasikan.

Aliran Carvaka sangat keras mengkritik para pengikut ortodoks Veda, mereka bahkan menuding bahwa begitu banyak beban-beban nilai moral yang harus dipatuhi oleh tubuh justru menimbulkan kesengsaraan dan kebingungan. Moral yang tertinggi menurut para Carvaka adalah memaksimalkan kebahagiaan dan menghindari penderitaan ragawi. Memang ajaran Carvaka nampak sporadis, bahkan sumber-sumber tekstualnya sulit ditelusuri. Namun, inti dari Carvaka adalah suatu sikap skeptis terhadap tradisi Brahmana. Mereka mengkritik penyelenggaraan ritual, juga segregasi kasta yang terjadi pada masyarakat kuno India. Mereka mengatakan;

“Selama kehidupan adalah milikmu, hiduplah dengan penuh kesukacitaan.

Tidak ada satu pun yang dapat melarikan diri dari mata kematian yang selalu mencari

Seketika tubuh kita terbakar

Mustahil dapat kembali lagi.”[14]

Yang mutlak hanya kehidupaan saat ini, maka hanya kehidupan saat inilah yang harus dipertimbangkan sebaik mungkin. Skeptisisme Carvaka tidak berarti gaya hidup hedonisme kemudian membuat para pengikutnya bertindak tanpa tanggung jawab. Justru, karena manusia memiliki kemampuan berpikir maka ia harus dapat mempertanggung jawabkan pilihan-pilihannya. Dalam mendapatkan pengetahuan, cara yang dapat dipercaya adalah Pratyaksa Pramana, atau melalui persepsi. Persepsi bagi para Carvaka lebih radikal yakni empirisme keras, kebenaran adalah yang faktual dan diamati langsung. Mereka mengkritik metode penyimpulan, maupun kesaksian Veda Sruti.

Peneliti Lokayata Debiprasad Chattopadhyaya mengatakan bahwa seni erotika Carvaka mirip dengan sekte Tantra. Meski demikian, Chattopadhyaya membedakan antara Tantra Hindu dengan Tantra Buddha, Tantra yang dekat dengan Carvaka tidak memiliki penekanan pada kesadaran maupun intensi spiritual. Ia menduga bahwa penjelajahan erotis tubuh erat kaitannya dengan tradisi agrikultur kuno di India. Pertanian pada masa kuno menurutnya merupakan suatu pengungkapan terhadap tubuh perempuan yang disetarakan dengan kesuburan dan kesejahteraan[15].

Tantra semacam ini mengutamakan feminitas, tentu berbeda dengan naskah Brhadaranyaka Upanisad yang telah diulas pada bab sebelumnya, yang cenderung maskulin. Tantra dan perayaan kesuburan bumi adalah suatu rekognisi terhadap tubuh perempuan[16]. Aktivitas Tantra yang dijalankan para pengikut hedonisme kuno di India meyakini bahwa dengan menguasai teknik-teknik bercinta maka akan tercapai kebahagian tertinggi. Tidak saja kepuasan yang dicapai, tetapi juga kesuburan, produktivitas, keselarasan dengan seluruh kehidupan.

Beralih ke filsafat Kama Sutra, Vatsyayana pun menekankan pada penghayatan tubuh terhadap kenikmatan estetis dalam bercinta. Ia mengatakan;

Kama adalah suatu kehendak mental yang mengarah pada kenikmatan sentuhan, penglihatan, rasa, dan penciuman, bagaimana yang mempraktikan dapat mencapai kepuasan.”[17]

Kama Sutra yang berarti ajaran mengenai cinta atau gairah, merupakan buku penting yang disusun oleh seorang intelektual bernama Vatsyayana. Teks ini terdiri dari 1250 syair-syair yang terbentuk ke dalam 7 bagian besar, yang terbagi menjadi 36 subbab[18]. Semenjak diterjemahkan pada abad ke-19, Kama Sutra menjadi buku yang begitu digandrungi oleh masyarakat Barat. Malangnya, popularitas Kama Sutra hanya terfokus pada bagian posisi-posisi seks, dibandingkan muatan filosofisnya. Padahal, Kama Sutra adalah estuari filsafat yang begitu kaya. Bagi umat Hindu, Kama Sutra adalah pedoman hidup yang baik. Teks ini berguna sebagai pemandu kehidupan etis, bagaimana mengatur tubuh agar dapat bahagia dan puas dalam hubungan seksual, tapi tanpa terlena dan terjerembab ke dalam avidya.

Dalam membuat kompendium seni bercinta ini, Vatsyayana sesungguhnya memberikan cerminan bagaimana masyarakat pada zamannya memahami seksualitas. Ia terpengaruh pada metode penyusunan ala masa Maurya, sehingga dapat dijumpai kemiripan dengan pola komposisi Arthasastra[19]. Ia bertujuan untuk membuat sistematika yang jelas mengenai seni erotika. Memang ia mengakui bahwa pengetahuan-pengetahuan ini bukan hal yang baru, bahkan ia menyebut dua sumber teks yang lebih kuno yakni Brhadaranyaka Upanisad dan Chandogya Upanisad sebagai referensinya. Kesamaan Kama Sutra dengan Arthasastra juga nampak pada kesederhanaan dan kejernihan bahasa, sebab para penyusun menginginkan pengetahuan ini dipahami secara jelas dan semudah mungkin. Lebih kental sisi praktisnya, dibandingkan kontemplasi metafisis.

Serupa dengan Arthasastra, Kama Sutra juga dipengaruhi oleh Lokayata atau kelompok Carvaka. Arthasastra terpengaruh realisme dari Lokayata, bagaimana mencapai kesejahteraan dalam dunia, begitu juga Kama Sutra yang menyetujui pandangan realis ini. Tentu perbedaan utamanya adalah baik, Arthasastra dan Kama Sutra meyakini otoritas dan kebenaran Veda. Vatsyayana menjelaskan bahwa meski ia memuji sikap kritis dan realisme pemikiran Lokayata, tetapi ia tetap mengakarkan filosofinya pada Veda[20].

Filosofi Kama Sutra terletak pada Catur Purusarthas atau empat tujuan hidup. Catur Purusharthas terdiri atas Dharma, Artha, Kama dan yang terakhir adalah Moksha. Tujuan dari Vatsyayana menguraikan prinsip-prinsip ini adalah suatu tahapan seimbang dalam mencapai kebahagiaan. Bahwa kesejahteraan ragawi itu baik, selama tidak berlebihan dan berada pada koridor Dharma, begitu juga dengan Kama, bahwa kenikmatan itu penting tetapi tujuan yang paling hakiki adalah Moksa. Prioritas ini ditekankan oleh Vatsyayana, ia menegaskan bahwa; “Seksualitas adalah esensial dalam keberlangsungan hidup manusia[21] tetapi ia juga menganjurkan suatu kehati-hatian, bahwa tidak sedikit manusia yang hidupnya hancur dikarenakan nafsu yang tidak terkendali[22].

“Dapat dilihat bahwa mereka yang terlalu menyerahkan diri pada kehidupan seksual yang berlebih-lebih, maka sesungguhnya mereka memusnahkan diri mereka sendiri”[23]

Vatsyayana mengelaborasi 64 posisi erotis sebelum terjadinya kopulasi. Kama Sutra diartikan sebagai seni bercinta, sebab seks dipandang tidak secara mekanistis maupun dangkal. Bagi Vatsyayana seks adalah proses artistik tubuh dalam menyelami fase-fase kenikmatan. Kenikmatan tidak saja hasil dari penetrasi organ vital, tetapi kenikmatan diamplifikasi oleh penundaan, permainan, juga kerinduan terhadap tubuh yang lain. Unsur-unsur erotis ini didokumentasikan secara komprehensif pada bagian Samprayoga.

Vatsyayana menulis secara detil bahwa berciuman akan meningkatkan gairah erotis, bahkan ia membedakan bentuk-bentuk percumbuan.

“Ada empat cara berciuman: sama adalah ciuman yang setingkat, tiryaka adalah yang melintang, udbharanta yang terbalik, sedangkan piditaka adalah yang ditekan.”

Berciuman berguna untuk menstimulasi bara di dalam tubuh sebelum melakukan kopulasi. Berciuman bagi Vatsyayana adalah cara untuk merasakan ragam kenikmatan yang hadir karena bibir. Bibir dalam fungsinya dapat memberikan beraneka kenikmatan, bibir dapat menandakan keintiman dan kemesraan tetapi melalui bibir dan lidah dapat juga dilakukan permainan kecupan.

Melalui Kama Sutra kita diberikan ilustrasi mengenai tubuh beserta damba erotisnya, dalam pengertian ini tubuh tidak saja dipandang komplementer terhadap pikiran, tetapi tubuh memegang peranan penting yakni sebagai jalan untuk mencapai kenikmatan.

7b6459e9f223f93591606bbf1379f496.jpg

V. KESIMPULAN

Saya ingin menutup makalah ini dengan menjejakkan pada problem kontemporer yang tengah terjadi saat ini. Bahwa banyak ketidaktahuan serta prasangka terhadap tubuh. Tubuh seringkali diabaikan, bahkan ada habituasi untuk selalu mempertentangkan tubuh dengan jiwa. Analisis yang saya lakukan terhadap beberapa teks kuno India adalah upaya untuk memberikan pembelaan bahwa tubuh adalah tempat bermukim bagi kedirian kita. Alangkah bijaknya jika ruang bersemayam ini terjaga dengan baik, terpenuhi impian, dan hasrat kebahagiaannya. Masyarakat dewasa ini terlampau terpenjara dengan pandangan konservatif dalam membicarakan tubuh. Tubuh dan seks selalu dianggap topik yang tabu. Padahal, seni bercinta menurut Vatsyayana adalah petanda suatu masyrakat yang beradab dan dewasa dalam memperbincangkan seksualitas.

Metode yang saya gunakan untuk memahami peristiwa gairah seksual manusia adalah fenomenologi. Melalui fenomenologi saya memahami larik-larik dalam teks-teks kuno ini tidak saja sebagai serentetan kata-kata, tetapi apa yang digambarkan oleh Vatsyayana adalah suatu pengalaman yang nyata dan manusiawi. Kemanusiaan kita ditentukan oleh tindak tanduk tubuh ini. Gairah untuk meraih kenikmatan adalah suatu proses spiritual dalam menemukan jati diri ini melalui persentuhan dengan tubuh yang lain.

Mengapa manusia kerap memungkiri dirinya dengan tidak memahami secara sungguh-sungguh siapakah tubuhnya tersebut? Apa yang saya temukan sebagai jawaban memang tidak jauh berbeda dari yang sudah diperingatkan oleh para mahaguru yakni, Avidya. Keengganan untuk berpikir dan mengupayakan pengetahuan. Kecurigaan yang tidak berbasiskan pada akal budi, tapi kecurigaan yang diakibatkan oleh hasutan yang tidak memiliki landasan kebenaran sama sekali.

Pada era masyarakat jejaring, dan derasnya arus dunia digital, pertanyaan-pertanyaan tentang tubuh semakin memudar. Tubuh disandera sikap yang banal, kenikmatan tidak lagi pengalaman yang hakiki, kehidupan dijalani selintas lalu saja. Untuk kembali membaca Kama Sastra ini adalah harapan untuk dapat mengenali lagi tubuh sendiri yang selama ini telah menjadi asing. Tubuh kita seringkali disalahgunakan, bahkan diperlakukan kejam oleh diri sendiri. Para filosof seperti Merleau-Ponty, Vatsyayana, Shankara bahkan para materialis pun, mengingatkan kita untuk selalu berkesadaran terhadap tubuh dan pengetahuan yang tersembunyi di dalamnya.

DAFTAR PUSTAKA

 Buku

(ed) Alain Danielou, The Complete Kama Sutra, Park Street Press, 1994, Vermont

(ed) S. Radhakrishnan, The Principal Upanisads, Harper-Collins, 1996, Great Britain

Chattopadhyaya, Debiprasad, Lokayata, A Study in Ancient Indian Materialism, People’s Publishing House, 1992, New Delhi

Merleau-Ponty, Maurice, Phenomenology of Perception, Routledge Classics, 2002, London

Radhakrishnan, Servapalli, Indian Philosophy Vol. 1, Oxford University Press, 1996, New Delhi

Radhakrishnan, Servapalli, Indian Philosophy Vol. 2, Oxford University Press, 1996, New Delhi

Jurnal

Jurnal Perempuan No. 77, Agama dan Seksualitas, Yayasan Jurnal Perempuan, 2013, Jakarta

[1] Servapalli Radhakrishnan, Indian Philosophy Vol. 1, (New Delhi: Oxford University Press, 1996), hlm 21-60

[2] Jurnal Perempuan No. 77, Agama dan Seksualitas, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2013), hlm. 41

[3] Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception , (London: Routledge Classics, 2002), hlm. 181

[4] Paul Deussen, The Philosophy of The Upanishads, (Edinburgh: T.&T. Clark, 1906), hlm. 23

[5] Brhadaranyaka Upanisad dengan komentar Sankaracarya, (Calcutta: Advaita Ashrama, 1950)

[6] .lih Paul Deussen, The Philosophy of The Upanishads, hlm. 16

[7] .lih Brhadaranyaka Upanisad hlm. 609

[8] ibid. hlm. 740

[9] ibid. hlm. 741

[10] Servapalli Radhakrishnan, Upanisad-upanisad utama, (Surabaya: Penerbit Paramita, 2008) hlm. 243

[11] ibid. hlm. 146

[12] Servapalli Radhakrishnan, Indian Philosophy, Vol. II, (New Delhi: Oxford University Press, 1996), hlm. 565-578

[13] Debiprasad Chattopadhyaya, Lokayata, A Study in Ancient Indian Materialism, (New Delhi: People’s Publishing House, 1992), hlm. 3

[14] .lih Servapalli Radhakrishnan, Indian Philosophy Vol. 2, hlm. 281

[15] .lih Debiprasad Chattopadhyaya, Lokayata, hlm. 277

[16] ibid. hlm. 286

[17] (ed) Alain Danielou , The Complete Kama Sutra, (Vermont: Park Street Press, 1994), hlm 29

[18] lih. Agama dan Seksualitas, Jurnal Perempuan.

[19] .lih (ed) Alain Danielou, The Complete Kama Sutra, hlm. 4

[20] ibid. hlm 38

[21] .lih Agama dan Seksualitas, Jurnal Perempuan atau baca Kama Sutra II.37

[22] ibid.

[23] ibid. atau baca Kama Sutra II.34

Tari dan Tubuh Politis

56742833_380376792567421_8098471841033954760_n.jpg

I. Pendahuluan 

Pawai Women’s March yang dilakukan pada tahun 2018 berlangsung meriah dan penuh dengan harapan. Seluruh peserta pawai dari berbagai elemen masyarakat hadir sebagai dukungan terhadap misi untuk memperjuangkan keadilan dan kebebasan bagi perempuan di Indonesia. Puluhan ribu tumpah ruah ke jalanan sebagai wujud solidaritas untuk menghentikan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Lagu Who Run The World? karya ikon feminisme multikultur—Beyonce, menyambut peserta pawai. Sontak seluruh yang terlibat menggerakan tubuh mereka menari mengikuti lagu tersebut. Bendera Pride dengan warna pelanginya dikibarkan para peserta sambil menari dengan ceria. Ini adalah pengalaman saya mengingat bagaimana gerakan sosial untuk isu perempuan dibuka dengan serangkaian tarian.

Bagi perempuan, pemaknaan tentang tubuhnya sendiri adalah sesuatu yang samar. Perempuan tidak sungguh-sungguh mengenal tubuhnya, bahkan dari masa ke masa, sejarah menunjukkan bahwa tubuh perempuan acapkali didominasi oleh kuasa. Tubuh perempuan adalah cerminan dari kekuasaan yang beroperasi, melalui aturan, kaidah, citra, dan lain sebagainya, tetapi tubuh perempuan juga perlambang aspirasi kebebasan. Tubuh perempuan adalah medan pertempuran kuasa. Tidak saja antara dirinya dengan bagaimana tirani dominasi yang berada di luar dirinya, tetapi lebih subtil lagi, perempuan pun bersiteru dalam kesadarannya sendiri tentang tubuhnya. Melalui konteks sosial ini, tubuh yang menari, harus dipahami melampaui tujuan yang seolah-olah trivial. Entah demi hiburan, tontonan, ataupun yang estetis semata. Tubuh yang menari adalah upaya perempuan mengenali tubuhnya sendiri. Gerakan tubuhnya adalah pemberontakan terhadap bagaimana pengaturan dan pengawasan terus mengancam. Tarian adalah suatu gugatan politis, di tengah menguatnya konservatisme yang selalu menyasar pada penertiban tubuh perempuan. Dualisme citra tubuh perempuan yang dibentuk oleh budaya yang diskriminatif, mereduksi perempuan untuk berada di dua sumbu, bahwa tubuhnya suci atau nista. Dua status ini adalah persepsi yang dilanggengkan oleh masyarakat untuk selalu mengkontrol tubuh perempuan. Lantas, bagaimana tarian dapat membebaskan perempuan?

II. Tarian Bumi

IMG_6137Dalam kehidupan saya, tradisi mendahului individualitas. Lebih tepatnya, tradisi mendefinisikan siapa diri saya. Sehingga siapa saya, atau apa fungsi tubuh saya, tidak dapat dipisahkan dari tradisi. Sebagai perempuan Bali, menari adalah bagian dari kewajiban saya sebagai perempuan adat. Menari bukan suatu aktivitas privat, maupun demi kepentingan ekspresif saja, menari adalah medium untuk bercakap-cakap dengan yang supernatural. Tubuh perempuan adalah milik tradisi, dalam hal ini tubuh saya adalah persembahan bagi sosial dan Tuhan.

Melalui tarian, bertumpu seluruh sejarah lisan suatu akar kebudayaan. Dalam budaya Bali, tubuh penari Rejang adalah wahana suatu memori kolektif. Bagaimanakah suatu masyarakat mengamalkan tata cara pemujaan pada leluhur dan alam raya. Dalam buku Tarian Bumi karya Oka Rusmini, ia menggambarkan dua sisi tubuh penari Bali, tubuh yang patuh pada tradisi dan adat, tetapi pada sisi yang lainnya, tubuh adalah yang sensual mencari kebebasan. Ambiguitas ini adalah esensi dari tubuh, gerakan tari adalah cara seseorang untuk memahami gairah. Bagaimana tubuh meliuk dengan eksotis, mencari kebebasannya. Dimensi tubuh beserta pergelutannya dihadirkan dalam novel Tarian Bumi, ambiguitas untuk bebas menelusuri gairah tubuh, dipertentangkan dengan tubuh yang menanggung kewajiban adat.

Dalam observasinya terhadap tari, Walter Spies menjelaskan bagaimana menari adalah sesuatu yang alamiah bagi orang Bali. Menari pun dapat dipilah untuk tujuan-tujuan seperti; hiburan dan upacara keagamaan. Meski demikian, inti dari tarian adalah sesuatu hal yang lekat bagi orang Bali, menari adalah keseharian mereka dalam memahami dunia. Mereka menari untuk merayakan segala aspek dalam kehidupan. Ruang-ruang yang diciptakan ini dapat digunakan untuk memahami bagaimana gerakan tubuh memperkuat ruang-ruang yang diciptakan. Dalam tarian Calon Arang dan Barong misalnya, tubuh yang tidak lagi mutlak bergerak seperti manusia mewakili suatu narasi. Narasi ini adalah mitos yang diyakini oleh masyarakat, pertarungan antara kebaikan dan keburukan.

Penciptaan ruang dapat dicermati melalui peperangan yang terjadi antara Calon Arang dan Barong. Begitu juga dalam tarian-tarian kuno lainnya, seperti Tari Sang Hyang. Tarian-tarian ini adalah bentuk ingatan kolektif terkait dengan mitos-mitos. Sang Hyang Bogog dan Sang Hyang Memedi misalnya, merupakan bentuk tarian yang menyamarkan tubuh manusia dengan tubuh kera atau tubuh Bhuta Kala/makhluk gaib. Tubuh yang menari dalam ruang ini, meninggalkan sifat-sifat manusia, meski tidak secara total, tetapi perlahan-lahan meniru gerak-gerik hewan, seperti kera, atau imajinasi terhadap gerakan makhluk gaib.

Melalui tubuh maka mitos-mitos ini dimungkinkan, melalui tubuh pula mitos sebagai sebentuk pengetahuan dijaga dan dilestarikan. Dalam pengertian ini, tubuh yang menari membuktikan bahwa kecenderungan tubuh tidak saja rasional dan logis, melebihi itu, gerakan tubuh merupakan imajinasi terhadap alam sihir. Tubuh merupakan penghubung dengan ruang yang mistis.

III. Tubuh dan Intensionalitas

Dari pembahasan tubuh dan penciptaan ruang, kita beranjak untuk menelusuri bagaimana tubuh yang menari merupakan interaksi antar subjek. Gerakan tubuh pada saat menari, tidak dapat direduksi sebatas urusan teknik maupun pakem semata. Melampaui yang mekanistik itu, tarian adalah penghubung terhadap realitas-realitas yang metafisis. Tarian Sang Hyang misalnya, tubuh penari adalah penghubung subjek penari dengan subjek yang berpartisipasi dalam ritual. Tidak berbeda pula dengan tarian yang diselenggarakan di auditorium kebudayaan, para penari tidak saja bergerak dalam ruangnya sendiri, tetapi mereka menciptakan relasi dengan audiens yang menyaksikan tarian tersebut.

Daya intensionalitas, atau keterarahan dari subjek menuju subjek lainnya adalah bagian dari pengalaman tarian itu. Seorang penari sejatinya sedang menjangkau orang lain di sekitarnya saat menari. Maka, memang muncul suatu paradoks, bahwa tarian adalah sesuatu yang datang murni dari subjektivitas diri, tetapi pada saat yang bersamaan tarian itu sesuatu yang bermakna karena aktivitas itu merupakan peristiwa yang dibagi bersama-sama. Melalui keterarahan ini maka dapat dipahami mengapa tarian adalah tindakan untuk merasakan yang lebih tinggi dari perseptual biasa. Menari adalah tindakan menyentuh rasa keberadaan seseorang.

Selain keterarahan antar manusia, menari adalah upaya empati pada lingkungan dan makhluk hidup lainnya. Contoh-contoh yang telah dibahas pada bab sebelumnya, tarian yang merupakan peniruan pada katak, kera, angin, sungai, laut, dsb, merupakan bentuk intensionalitas manusia terhadap alam yang dihayatinya. Menari adalah suatu cara untuk membahaskan relasi dengan lingkungan hidup yang semakin kritis dan terancam kepunahan. Dua contoh akan saya bahas untuk menjelaskan bagaimana tarian digunakan sebagai suatu protes terhadap ruang kebebasan yang terhimpit.

Dalam kampanye perlindungan kawasan konservasi Teluk Benoa, warga Bali seringkali menggunakan kegiatan berkesenian untuk menunjukan penolakannya terhadap proyek reklamasi yang mengancam Teluk Benoa. Dalam pawai budaya yang mereka selenggarakan, mereka mempertunjukkan tarian Barong dan Rangda, yang mereka interpretasikan sebagai wujud simbolisasi baik dan buruk. Kegiatan ini adalah proses aspirasi publik, yang menggunakan tubuh yang menari untuk mengekspresikan bagaimana relasi manusia dan alam akan terganggu jika pembangunan infrastruktur pariwisata terus dilakukan secara serampangan.

Begitu pula dengan ekspresi gender yang ada pada Calalai, Calabai dan Pendeta Bissu. Ritual yang semakin langka dijumpai di Sulawesi Selatan. Tradisi kuno masyarakat Bugis ini memandang bahwa terdapat lebih dari dari dua gender yang biner. Pendeta Bissu yang diyakini memiliki identitas meta-gender (tidak lelaki maupun perempuan) memimpin ritual dengan nyanyian pemujaan. Gerakan tubuh Pendeta Bissu adalah ekspresi spiritualitas, suatu intensionalitas dengan yang adikodratiah.

D4GaknIUUAAfM3x.jpg

III. Tubuh Yang Tertawan

Melalui elaborasi bab-bab yang sebelumnya, saya ingin menampilkan makna tubuh yang menari beserta ruang-ruang yang diciptakan dari ritme tubuh tersebut. Tubuh bukanlah suatu fakta fisiologis semata, dari uraian yang telah dilakukan saya ingin menggarisbawahi tubuh yang instrumental dalam pemaknaan hubungan dirinya dengan dimunculkannya dunia. Eksistensi tubuh dalam pengertian ini adalah gerakan yang selalu berada dalam dinamika yang menjadi.

Tubuh yang menjadi (becoming), adalah tubuh yang ingin menerobos pembatasan yang diterapkan atas dirinya. Salah satu contoh bagaimana tubuh yang menari dikriminalisasi dapat dilihat pada kejadian penahanan Maedeh Hojabri di Iran. Ia ditahan dikarenakan mengunggah video dirinya menari di akun media sosial. Kejadian ini menimbulkan aksi solidaritas dunia yang mengkritik pemerintahan Iran. Video dukungan terhadap Maedeh Hojabri terus mengalir, yang menunjukkan para perempuan menari sebagai bentuk protes.

Di Indonesia, sentimen moral dan kebencian terhadap tubuh perempuan dapat ditelisik melalui perda-perda yang masih menyasar pada pengaturan tubuh perempuan. Represi terhadap ekspresi tubuh kian nampak dengan diberlakukannya sensor dan anjuran terhadap cara-cara berpakaian. Michel Foucault menjelaskan bagaimana strategi kuasa mendominasi tubuh dan seksualitas. Represi ini tidak berlangsung secara sentralistik–dilakukan oleh negara saja misalnya. Lebih rumit lagi, represi terhadap tubuh telah dilakukan dan menjelma dalam bahasa atau wacana. Wacana ini ada di dalam relasi berkeluarga dan relasi sosial informal lainnya, bahkan meresap ke dalam ketidaksadaran subjek. Menyensor diri misalnya, adalah salah satu bukti bahwa pengawasan terhadap tubuh telah diinternalisasikan.

Menari adalah aksi politis untuk lepas dari tahanan tubuh sosial. Menari adalah klaim politis yang dilakukan oleh perempuan terhadap tubuhnya yang selama ini dirampas oleh sistem. Menari sebagai tindakan politis merupakan suatu kreasi ruang yang memperjuangkan keadilan melalui solidaritas tubuh. Penderitaan tubuh perempuan nampak dari laporan-laporan yang mencatat statistik kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat setiap tahunnya. Perlawanan perempuan terhadap kekerasan tidak dapat dilakukan dengan kekerasan juga. Menari adalah perlawanan tubuh feminis yang mengutamakan realisasi serta pembelajaran sosial yang berakar pada empati dan cinta kasih.

IV. Kesimpulan

Kecurigaan pada ekspresi tubuh adalah mental sosial yang mengandalkan pola relasi yang kaku, diskriminatif dan hierarkis. Tarian adalah elixir, penawar dari kebencian yang semakin menajam di masyarakat. Menari adalah kembalinya subjek kepada rasa kebebasan untuk menemukan hubungan yang jujur, setara dan adil. Hubungan riil antar manusia yang seringkali dilupakan demi mengejar ilusi absolutisme kuasa.

Maka, menari dalam konteks ruang politik, adalah tubuh yang menegaskan partikularitasnya. Tubuh yang memberontak dari beban universalitas, yang telah dibuat oleh absolutisme agama, adat, nilai, kapital dsb. Menari adalah tindakan negasi terhadap opresi yang berusaha menyeragamkan. Melalui tarian ini, maka dapat disimpulkan bagaimana tubuh memperjuangkan kebebasannya. Menari adalah konstruksi baru untuk melawan wacana lama kebudayaan patriarkis.

Tubuh yang menari dari perspektif Simone de Beauvoir adalah tranformasi diri, dari tubuh yang terpenjara menjadi tubuh yang bereksistensial. Perempuan bukanlah entitas yang kosong ataupun berada di luar dirinya sendiri. Tubuh bukan lagi yang docile, tunduk patuh pada aturan yang dibentuk oleh kuasa di luar dirinya. Kemerdekaan tubuh perempuan melalui tarian, adalah suatu realisasi diri bahwa gerakannya adalah miliknya, dan ia menari untuk merayakan otentisitasnya.

Daftar Pustaka:

Walter Spies, Dance & Drama in Bali, Periplus, Hongkong: 2002.

Maurice Merleau-Ponty, Institution and Passivity, Northwestern University Press, Illinois: 2010.

Maurice Merleau-Ponty, Phenomenology of Perception, Routledge, London: 2005.

Simone de Beauvoir, The Second Sex, Vintage, New York: 2010

Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume One, Allen Lane, London: 1976

IMG_6135.jpg

Hak Azasi Manusia dan Ambivalensi Politik

D4j7_0CVUAAjPCA.jpgHingar bingar Pilpres dan Pileg akhirnya usai sudah, Indonesia telah melaksanakan Pemilu. Gempita kemenangan Presiden terpilih dan pemerintah baru semestinya dijejakkan pada fakta bahwa masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah, khususnya terkait dengan Hak Azasi Manusia. Dalam debat capres yang telah diselenggarakan, saat itu capres nomor urut 01 Joko Widodo mengatakan kesukaran menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu; “Memang kita masih memiliki beban pelanggaran HAM berat masa lalu, tak mudah menyelesaikannya. Masalah pembuktian dan waktu terlalu jauh. Harusnya ini selesai setelah itu terjadi”

Pernyataan yang cenderung apologetik tersebut, adalah cerminan bagaimana sebagian besar masyarakat Indonesia masih memandang HAM secara arbitrer. Tidak diprioritaskannya HAM nampak dalam ajang Pilpres, di mana isu HAM seringkali hanya dimanfaatkan dalam janji politik, tetapi tidak kunjung direalisasikan. Kita patut bertanya, mengapa di Indonesia HAM tidak diprioritaskan? Wawasan HAM memang masih rendah di masyarakat, padahal bagian dari menjadi warga negara Indonesia adalah akar perjuangan HAM yang tertanam dalam sejarah kebangsaan kita.

Semangat dari Pancasila, khususnya sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, adalah penghormatan pada martabat manusia. Hak azasi adalah sesuatu yang intrinsik dalam kedirian manusia, sesuatu yang tidak dapat disangkal, dicabut atau dihilangkan. Pancasila dan UUD 1945 adalah sumber justifikasi mengapa perlindungan terhadap HAM adalah sesuatu yang prinsipil, dan atas alasan apapun tidak dapat ditelantarkan. Laporan yang disusun oleh Amnesty Indonesia merumuskan 9 agenda HAM yang ditujukan bagi presiden dan legislatif terpilih. Amnesty menggarisbawahi kasus-kasus pelanggaran HAM yang butuh perhatian dan ketegasan dari pemerintah Indonesia, seperti; perlindungan terhadap kebebasan berekspresi juga kebebasan berkeyakinan, penghormatan terhadap keberagaman dan kesetaraan gender, perlindungan HAM di Papua, perlindungan hak azasi terkait dengan krisis lingkungan dan sengketa lahan, dan diakhirinya impunitas kejahatan HAM masa lalu.

Problem-prolem HAM yang menumpuk menandakan bahwa pemerintah masih ambivalen dalam bertindak. Hak azasi belum didahulukan, bahkan kecenderungannya adalah dipertentangkannya kepentingan hak azasi dengan negosiasi politik. Inilah yang disampaikan oleh Maria Katarina Sumarsih, saat saya menjumpainya pada Aksi Kamisan yang ke-582 sehari setelah Pemilu dilaksanakan. Sumarsih adalah Ibunda Norman Irmawan (Wawan), korban Tragedi Semanggi I yang terjadi 13 November 1998 silam. Dengan pakaian serba hitam, sambil memegang payung hitam Ia bercerita pada saya beserta anak-anak muda yang berdiri mengelilinginya. Wajahnya tidak menyiratkan lelah, meski perjuangannya begitu berat demi mencari keadilan bagi anaknya.

Sumarsih berkisah bagaimana pada Pemilu 2014 ia berharap besar pada kepemimpinan Joko Widodo, bahkan ia turut berkampanye agar paslon Joko Widodo dan Jusuf Kalla memenangkan Pemilu. Sumarsih merujuk pada visi dan misi Jokowi-JK yang mengatakan, “Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial bagi bangsa Indonesia seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti, Tragedi Semanggi I & II, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965 dan kami berkomitmen menghapus semua bentuk impunitas di dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM.” Namun harapan terhadap keadilan yang dijanjikan belum juga terwujud, alih-alih pemerintah mengusulkan dilakukannya rekonsiliasi non-yudisial.

Penyelesaian non-yudisial yang diusung oleh pemerintah justru menurut saya adalah suatu pencideraan terhadap keadilan. Sumarsih beserta keluarga korban yang lainnya memiliki hak yang semestinya dilindungi oleh negara. Keluarga korban berhak mendapatkan kejelasan, dan ditegakkannya hukum demi kebenaran. Mustahil dilakukan rekonsiliasi tanpa kejernihan investigasi dan rekognisi terhadap kejahatan HAM yang telah terjadi. Sumarsih menuntut pada pemerintahan yang baru agar menggelar Pengadilan HAM ad hoc yang memiliki landasan hukum yakni pada UU no. 26 tahun 2000 terkait dengan pengadilan HAM, begitu pula pada UUD 1945 pasal 281 ayat (4) yang meletakan keutamaan pemenuhan HAM sebagai kewajiban negara.

Aksi Kamisan adalah tumpuan harapan bagi Sumarsih beserta keluarga korban untuk memperjuangkan keadilan. Sebagai forum publik, Aksi Kamisan mengisi absensi pemerintah dalam mengangkat persoalan HAM. Dalam Aksi Kamisan itu para peserta yang terdiri dari, mahasiswa, pelajar maupun elemen masyarakat sipil lainnya, dapat mempelajari dan mengutarakan pendapat. Seorang mahasiswi Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia bernama Rezkita Suhendar bertutur bagaimana kali pertama ia mengikuti Aksi Kamisan, ia pun membacakan puisinya, “Mataku bisa melihat, tapi tak melihat keadilan. Telingaku bisa mendengar, tapi tak mendengar kebebasan.”

Sumarsih bercerita pada saya dengan mata yang berkaca-kaca, bagaimana almarhum Wawan amat senang menulis puisi. Begitu banyak catatan di dalam buku tulisnya berisikan aspirasi pemuda itu tentang Indonesia. Ia mengimpikan kebebasan, tegaknya supremasi hukum, dan Indonesia yang demokratis. Betapa pilu bahwa Wawan mengorbankan hidupnya demi cita-cita itu. Kini Indonesia memiliki kebebasan untuk menyelenggarakan pesta demokrasi, tetapi, bagaimana dengan keadilan untuk Wawan dan Sumarsih ?

D4blSjLUcAEwcuq.jpg

Teknik dan Magi

9781350044029.jpg

Saya masih ingat saat berusia 17 tahun, duduk di kelas pertama penerimaan mahasiswa baru Filsafat. Dosen saya bertanya,

“Saraswati dari mana asalmu?”

“Dari Bali Pak.”

“Baiklah, ceritakan sedikit mengapa kamu masuk Filsafat ?”

“Saya senang membaca buku filsafat Pak.”

“Oh ya, buku filsafat apa yang kamu baca ?”

Beberapa lama saya pikirkan saat itu, apakah buku Bhagavad Gita itu filsafat yang formal ? Khawatir dengan anggapan dosen dan seisi kelas, saya jawab,

“Buku yang saya baca Apologia, Plato Pak.”

Tanpa saya sadari sesungguhnya itulah problem filsfat pertama saya, memahami apakah yang termasuk dalam ruang lingkup ilmu filsafat. Saya merasa Plato dan para pemikir Yunani klasik lebih tepat disebut sebagai filsafat sebab mereka memberikan sistematika yang kokoh khususnya terkait dengan bagaimana filsafat bertumpu pada Logos. Meski tentunya, antara Apologia maupun Bhagavad Gita sesungguhnya sama-sama berpikir mengenai esensi dari keadilan itu. Tetapi, Bhagavad Gita, dikarenakan akarnya yang terletak pada Veda, terlebih tepatnya pada Upanishad, membahas kompleksitas struktur kesadaran manusia.

Saat saya mempersoalkan kembali pengalaman awal saya belajar filsafat, bersamaan dengan itu saya tengah membaca karya Federico Campagna yang berjudul Technic and Magic, The Reconstruction of Reality. Federico Campagna adalah seorang filsuf kelahiran Sondrio, Italia, kini ia menetap di London menjadi pengajar di London School of Economics. Dalam pengantarnya ia menuliskan bahwa ia mendedikasikan buku tersebut bagi mereka yang merasa putus asa, terbentur, dan merasa kalah dengan bagaimana realitas ini sudah terbentuk. Ia menulis Technic and Magic dalam kondisi tertekan dengan keadaan dunia yang tersandera dengan bangkitnya fasisme, problem segregasi masyarakat–menajamnya kelas, dan kerusakan lingkungan hidup[1].

Membaca Campagna saya mempertanyakan kembali apakah dasar dari Filsfat? Bagi Campagna buku Technic and Magic sesungguhnya adalah upaya untuk mengembalikan metafisika dalam percakapan intelektual. Dasar dari filsafat adalah metafisika. Metafisika adalah pertanyaan mengenai apakah ada tersebut ? Campagna mengatakan bahwa pembahasan terkait metafisika dalam kata lainnya adalah pembahasan mengenai struktur realitas. Kembali pada kegundahan saya mengenai ruang lingkup filsafat, perbedaan antara Apologia dan Bhagavad Gita sesungguhnya berakar pada bagaimana realitas terbentuk dan dipahami oleh masyarakat. Problemnya ternyata mudah, ada otoritas yang memecah antara cakrawala pemikiran Barat dan Timur, dan menyusupkan hierarki bahkan, bahwa menggunakan konsep Logos, dari titik itulah filsafat ‘diciptakan’. Melalui Campagna saya dapat memahami lebih baik bagaimana penataan pengetahuan juga sesungguhnya negasi ataupun afirmasi terhadap realitas yang ada.

Dari penyelidikan di atas, sebenarnya saya sedang mengulangi belajar filsafat, karena saya merasa bahwa realitas yang sejatinya ada, hanya realitas yang basisnya adalah Logos. Saya sempat meninggalkan realitas yang lainnya, menganggap realitas itu salah, atau bukan hal yang penting. Campagna menggunakan Technic, mengutip dari Martin Heidegger dari esainya yang berjudul The Question Concerning Technology[2]. Campagna mempersoalkan enframming (Gestell) bagaimana realitas terbentuk dari asumsi pembingkaian itu. Senada dengan Campagna saya pun menuliskan pembahasan ini, khususnya bagaimana pembingkaian itu menjadi masalah[3]. Namun berbeda dengan Campagna, saya melihat tahap pembingkaian ini menjanjikan suatu penyibakan untuk mencapai esensi realitas.

Campagna tidak menganggap tahap pra-ontologis ini sesuatu yang optimistik, justru ia mengkritik Heidegger dengan mengatakan bahwa realitas dari perspektif Heideggerian menciptakan realitas yang terpotong-potong antara yang di ‘dalam’ dengan yang di ‘luar’. Alam adalah yang ‘standing reserve’ tersedia bagi manusia untuk dipergunakan, dimanipulasi. Pemulihan kata Techne yang awalnya bagi Heidegger untuk menjernihkan bahwa Techne tersebut bukan persoalan yang teknologis semata, menurut Campagna masih melanggengkan diskriminasi realitas, sama halnya seperti yang sudah disampaikan oleh Plato, Immanuel Kant, juga Aristoteles. Alam masih menjadi yang di luar, yang jauh, dan fenomenologi sesungguhnya secara elaboratif berupaya mengargumentasikan relasi antara subjek dengan dunianya.

Campagna memulai diskusi dengan membicarakan mengenai kepunahan. Technic, menurut Campagna adalah cara-cara untuk menciptakan realitas, dalam konteks kepunahan, Technic pun berusaha memecahkan persoalan kepunahan melalui gagasan rasa takut terhadap akhir kehidupan, apokaliptik. Campagna kemudian menjelaskan bahwa kepunahan bukanlah kematian saja, kepunahan berarti menghilangnya suatu sistem realitas; bahasa, relasi, dunia. Kegentaran terhadap kepunahan, menurut Campagna tidak serta merta menghasilkan subjek yang sadar. Sebaliknya, ia mengkritik munculnya AGE (the abstract general entity), melalui Technic justru yang naik ke permukaan adalah penghancuran, reduksi, disintegrasi, yang menghasilkan kekosongan[4].

“To our contemporary world, Technic is God, in that it acts as the overall form encompassing all the various principles that structure our world.”[5]

Realitas manusia secara total adalah upaya untuk membahasakan relasinya dengan Tuhan. Technic memunculkan 5 hipostasis; bahasa yang absolut, ukuran, unit, entitas abstrak yang general, dan kerapuhan. 5 hipostasis yang diuraikan oleh Campagna membahas bagaimana dunia adalah bahasa, bahasa adalah representasi, tetapi representasi itu dianggap kebenaran yang mutlak. Sementara itu kita dapat lihat contohnya pada bahasa matematis, juga diciptakannya unit, benda-benda alam yang digunakan untuk menciptakan dunia, hilangnya subjek dan individu. Bagian terakhir dari kosmogeni Technic menjelaskan bagaimana kerapuhan hidup membayang-bayangi realitas yang dibentuk Technic. Ekspansi dan repetisi Technic, semakin menampakkan kerapuhan. Kerapuhan hidup ini menurut Campagna dapat dipandang sebagai kemungkinan untuk menciptakan realitas yang lainnya. Kerapuhan hidup; absurdnya waktu, menakutkannya kematian, tidak tetapnya makna, dapat dijalani dengan dua cara, mengulangi metode Technic, atau keluar, melarikan diri dari sistem realitas yang monopolistik tersebut.

Slide09.jpgKeheranan saya terhadap realitas magis adalah ketika saya meneliti mengenai ritual Sang Hyang Dedari[6]. Tradisi perwujudan yang sakral ke dalam tubuh medium, sebagai permohonan kepada kosmos agar terhindar dari bencana. Dengan kehati-hatian saya berupaya membedah fenomena itu, bahwa ada aspek sakral dan profan dari tubuh manusia. Pada satu sisi tubuh adalah wahana untuk mencapai, merasakan yang sakral tetapi pada sisi yang lainnya, tubuh adalah yang terbatas, tidak sempurna, penuh dengan cela. Saya terjebak dalam dualisme itu, terombang-ambing di antara dua realitas. Saat mempresentasikan riset ini dalam suatu mimbar internasional, salah seorang peserta bertanya, “Ibu sebagai orang Bali, tapi di sisi lainnya juga seorang akademisi/peneliti, bagaimana menjaga objektivitas ? Apakah Ibu juga mempercayai kekuatan terapetik para bidadari yang turun ke bumi itu ?”

Saya menjawab pertanyaan itu dengan mantap, tapi sayangnya, saya merasa jawaban saya datang dari hegemoni Technic. Menggunakan bahasa ilmiah, saya seolah-olah, memisahkan antara dua realitas itu, dan realitas atau struktur matematis/formal/logis melalaikan saya melihat realitas yang magis itu. Membaca Campagna, membantu saya untuk menebus pandangan-pandangan yang pernah saya ciptakan menggunakan kosmogoni Technic.

“The project of this book is grounded on the conviction that the current reality-system, which I defined as Technic, is leading to the destruction of reality as such—and that this disappearance bears dramatic consequences. For this reason, the next part of this book will be dedicated to exploring magic, the alternative reality-system which I wish to propose as possible path towards the reconstruction of reality.”[7]

Eksplorasi Campagna tentang Magi melibatkan penggabungan teori-teori yang unik, ia membicarakan renungan Ibn Arabi mengenai nama-nama Tuhan bagaimana imajinasi Ibn Arabi dalam membahasakan relasi yang beragam dengan Tuhan. Multiplisitas ini juga muncul dalam upaya membentuk pengetahuan, ia membicarakan tentang Avidya, yang diambil dari Vedanta Darsana, bahwa menurut pemikir Vedanta pengetahuan adalah cara untuk menghindari kesengsaraan. Kosmogoni Magic menurut Campagna perlu dipandang bukan saja sebagai alteritas dari Technic, tetapi Magic juga adalah terapi bagi rezim totalitas yang kita hidupi.

Teori utama yang menurut saya ingin ditampilkan oleh Campagna adalah mengenai yang ineffable atau kesukaran untuk mengatakan maupun membahasakan. Technic harus selalu jelas, jernih tidak ganda mengenai bagaimana bahasa digunakan. Namun, renungan Campagna adalah, realitas adalah persoalan pergolakan juga penderitaan untuk mencoba memegang apakah yang ineffable itu. Itulah realitasnya, kegamangan berdiri dalam buana alit dengan buana jagat, buana hyang. Campagna meminjam teori dari Chandogya Upanishad soal keterbatasan bahasa dalam menjelaskan apakah yang dimaksud dengan atman ? Aku adalah diriku, aku tidak dapat melepaskan diriku sendiri, begitu dekat, tetapi untuk menguraikan siapa diriku? Kata-kata tidak mungkin memadai ?

Dari kesukaran kata-kata dan definisi, Campagna membahas mengenai bagaimana Magi mendorong individu untuk selalu mengkontemplasikan dirinya. Ia adalah subjek yang menciptakan simbol dan alegori, tetapi simbol-simbol itu bukan permainan saja, atau penggunaan semantik, lebih dari itu, simbol-simbol itu adalah bagaimana subjek merangkul, mengakrabi duniannya[8]. Apa yang dianggap sakral, atau bagaimana hierofani, pembentukan sakral terjadi sesungguhnya adalah upaya untuk memaknai kehidupan yang sarat dengan kesengsaraan. Kesimpulan dari kosmogoni Magic, menempatkan manusia yang berada di ‘dalam’ maupun di ‘luar’, memang paradoksal, tetapi Campagna menekankan bahwa pengetahuan Magi tidak dijerat oleh struktur konvensional yang terobsesi dengan tatanan.

Belakangan saya kembali membaca karya-karya Wittgenstein, baik yang Tractactus maupun Philosophical Investigation. Dua karya yang sejatinya berlawanan ini menunjukan kefrustasion Wittgenstein dalam memahami apakah realitas itu? Pada Tractactus secara logis mengatakan bahwa realitas adalah bahasa dan bagaimana bahasa mengacu pada gambar yang ajeg. Sebaiknya, hal-hal yang kurang jelas, atau masih sumir, tidak perlu dikatakan sama sekali. Sanggahan Wittgenstein terhadap karyanya sendiri Tractactus, menunjukan ketidakpuasannya terhadap bagaimana bahasa (realitas) dipersempit. Bahasa punya fungsi yang bermacam-macam, bahkan, ia dinamis, ekspansif dan selalu ingin melampaui apa yang sudah ditetapkan. Permainan bahasa, adalah ragam realitas. Hingga titik ini, saya merasakan kesukaran dan penderitaan Wittgenstein untuk merengkuh bahasa, beserta kemustahilannya. `

D2u6ZjcVAAA__L5.jpg

[1] Lihat Federico Campagna, Technic and Magic, Reconstruction of Reality, London: Bloomsbury, 2018, hlm 1.

[2] ibid. hlm. 24

[3] Lihat Saras Dewi, Ekofenomenologi, Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam Tangerang: Marjin Kiri, 2015, hlm. 122

[4] Lihat Technic and Reality, The Reconstruction of Reality, hlm. 54

[5] ibid. hlm. 64

[6] Putri, L.S. 2017. The revival of Sang Hyang Dedari dance: a phenomenological approach to social-ecological reconstruction in Bali. ASEAN Journal of Community Engagement. Volume 1(1), pp.72-82 http://ajce.ui.ac.id/article/view/54

[7] Lihat Technic and Magic, The Reconstruction of Reality, hlm. 104

[8] ibid. hlm. 149

Saya (Cinta) Pancasila

Sebagian alasan dari keringnya makna Pancasila adalah dikarenakan betapa tertutup dan kakunya pengetahuan kita mengenai Pancasila tersebut. Bagaimankah rasa mencintai muncul terhadap Pancasila, jika seseorang pun tidak memahami apakah Pancasila itu. Namun, ada gejala yang kontradiktif mengenai kata Pancasila, bahwa kata itu diucapkan berulang-ulang, dihapal, dan seringkali dicantumkan pada segala percakapan sosial politik, tetapi kata itu tidak memiliki kedalaman, maknanya justru tergerus. Mengapa hal tersebut dapat terjadi ?

Pencarian terhadap makna Pancasila semestinya dimulai dari pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang datang dari renungan sehari-hari, yang tidak melulu diberatkan dengan fungsi Pancasila sebagai ideologi. Tentu pernyataan ini nampak membingungkan, tetapi renungan filosofis mengenai Pancasila sesungguhnya upaya untuk menjejakkan Pancasila ke dunia yang dihayati oleh orang-orang melalui pengalaman-pengalamannya yang nyata. Apakah arti Pancasila bagi saya? Dalam pergumulan saya sebagai seorang warga negara? Dalam peran saya melalui profesi atau pekerjaan? Bagaimana caranya Pancasila dapat menjadi pandangan hidup jika hubungan Pancasila pun luput dari praktik kehidupan kita sehari-hari.

1ebc9efd-dbb4-44d1-8394-806a38c40e1b.JPGKesimpang siuran kita dalam memaknai Pancasila terpengaruhi juga oleh fakta sejarah bagaimana Pancasila digunakan oleh rezim sebagai alat kekuasaan. Sejarah masa lalu ini menyebabkan trauma yang menghadirkan kecurigaan dan kewaspadaan terhadap kata Pancasila. Jika Pancasila terlampau sarat dengan indoktrinisasi yang pernah dilakukan oleh rezim Orde Baru, lantas apa yang harus dilakukan untuk memulihkan pemaknaan Pancasila yang sejatinya memiliki semangat kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan dan keadilan ? Pemulihan ini penting dalam rangka menjadikan Pancasila milik masyarakat, bukan milik rezim yang pernah menyalahgunakannya.

Pancasila memerankan dua fungsi dalam kehidupan menjadi warga negara Indonesia, pada satu sisi Pancasila merupakan dasar negara, atau ideologi fondasi negara Indonesia, tetapi pada sisi yang lainnya Pancasila merupakan–mengutip Soekarno, kepribadian dan juga watak bangsa Indonesia. Saya menafsir Pancasila pada saat bekerja menjadi ideologi menekankan sesungguhnya bagaimana Pancasila disosialisasikan, diterapkan oleh pemerintah kepada masyarakat sehingga terjadi suatu kehidupan bernegara yang sesuai dengan cita-cita Pancasila sebagai kontrak sosial. Namun, Pancasila sebagai pandangan hidup, maupun karakter orang Indonesia, membutuhkan lebih dari kuasa pemerintah untuk membuat masyarakat menjadi patuh. Pancasila sebagai falsafah memerlukan kehadiran subjek yang memiliki keinginan tetapi juga keutamaan menggunakan akal budi dalam menghayati Pancasila.

09674719-92e9-4c0d-b81f-a4e0df376420.JPGDi manakah titik mula kita melakukan penafsiran kembali terhadap Pancasila ? Pertama kita harus kembali mengingat dan menggali sejarah kelahiran Pancasila. Emmanuel Levinas mengatakan bahwa sejarah bukan saja fakta objektif, sejarah perlu dipahami secara subjektif juga. Pancasila dalam perumusannya akarnya terletak pada permenungan bahwa telah terjadi perjuangan rakyat terhadap penjajahan kolonial. Soekarno berpidato bahwa dibutuhkan alat pemersatu untuk keluar dari penderitaan penjajahan.[1] Melalui pemikiran Levinas[2] kita perlu mengerti buruknya penjajahan, bahwa penjajahan itu kesengsaraan yang memiliki wajah. Sejarah penjajahan tidak saja terjadi dalam suatu peristiwa lampau, yang dibaca secara kaku di dalam buku-buku sejarah. Lebih dari itu, wajah yang dimaksud adalah bagaimana penjajahan adalah suatu pengalaman kesengsaraan yang intersubjektif, ada individu yang hadir dalam peristiwa itu, orang-orang yang memiliki kesamaan dengan diri kita, harapan, rasa takut, cemas dan juga keinginan untuk bebas.

Pancasila adalah monumen proses pelik itu, bahwa bangsa Indonesia menggunakan segenap daya dan bergotong royong– terlepas dari bermacam-macam perbedaan, merasakan suatu keresahan dan kebutuhan yang sama untuk merdeka. Ini adalah titik permulaan saya dalam memahami jiwa dari Pancasila, suatu pengetahuan mengenai perlawanan terhadap penindasan juga harapan untuk membentuk suatu gagasan bersama tentang kemanusiaan. Dalam perspektif ini, pengertian tentang Pancasila tidak berhenti pada Pancasila sebagai ideologi yang tertutup. Seperti bagaimana rezim otoriter memaksakan warganya untuk menjadi Pancasilais melalui internalisasi pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Menjadi Pancasilais seharusnya merupakan pengalaman yang tidak serta merta total, terjadi secara otomatis, atau dimungkinkan karena pendiktean. Pengertian tentang Pancasila terjadi secara partikular dalam interaksi antar masyarakat di ruang publik.

Ada baiknya kita lanjutkan esai ini dengan contoh-contoh yang terkait dengan sila-sila termaktub di dalam Pancasila. Sila Ketuhanan yang Maha Esa misalnya, sejarah mencatat bahwa perumusan dan penetapan sila nomor satu ini (yang pada awalnya ditempatkan pada urutan kelima) merupakan pembahasan yang tersulit. Konsensus yang tercapai sesungguhnya adalah bentuk kompromi politik yang alot demi ada pemisahan antara negara dan agama. Indonesia adalah negara demokrasi Pancasila, yang mengakui Tuhan yang Esa, tunggal. Namun, hal yang dilupakan dari sila ini adalah betapa semestinya pengalaman spiritualitas adalah sesuatu yang mencerahkan dan menentramkan. Joko Pinurbo menuliskan dalam puisinya yang berjudul, “Malam Natal”

“Tuhan, mengapa Engkau

harus dijaga polisi

di malam damai ini?”[3]

Pengalaman beragama di Indonesia memang pada akhirnya tidak memilah keras antara negara dan agama. Beragama adalah suatu percakapan yang dipertukarkan juga di ruang publik. Keadaan ini merupakan kesempatan untuk menjadikan agama tidak hanya sebagai sesuatu yang absolut berjarak dari pengalaman hidup sehari-hari yang penuh dengan perbedaan. Beragama dalam ruang publik adalah kesempatan untuk mengartikulasikan percakapan terkait dengan agama. Toleransi tidak dimaknai pasif, sebagai jeda agar menghindari pergesekan berbasiskan agama. Melampaui itu toleransi aktif melibatkan individu untuk memiliki intersubjektivitas. Perbedaan forma, simbol juga ritual keagamaan sesungguhnya adalah peluang untuk mempertukarkan pengalaman melalui dialog-dialog yang jujur, terbuka juga rasional.

Intersubjektivitas didalam relasi umat beragama adalah toleransi yang begitu mendalam, semacam empati yang muncul dari wajah yang berbeda-beda tetapi memiliki universalitas. Ketelanjangan wajah ini sangat terkait dengan bagaimana Tuhan dikatakan sebagai yang tunggal, pengalaman spiritual yang cenderung monistik, bagaimana seorang pemeluk agama mencari nilai yang universal dalam keanekaragaman tersebut.

Beralih ke sila kedua, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, saya akan menekankan pembahasan mengenai kemungkinan rasa cinta terhadap sesama manusia dalam kerangka hidup bernegara. Michael Hardt[4] mempersoalkan bagaimana gagasan tentang cinta sering disalahpahami sebatas kecintaan yang romantis saja. Padahal, cinta pun dapat menjadi suatu tindakan politis. Menelusuri pengertian ini, cinta pun dapat menjadi kekuatan emansipatoris, tetapi sebaliknya dapat menjadi buruk. Hardt mempersoalkan bahwa kecintaan kepada sesama seringkali diterjemahkan sebatas rasa cinta pada yang sama. Kesamaan ini bisa bermacam-macam; etnis, agama, dsb. Intinya kecintaan ini hanya mencari kesamaan yang satu dan total. Problemnya adalah, rasa cinta dan fanatisme sebatas pada yang sama ini dapat menyebabkan tertutupnya perbincangan dengan yang berbeda.

481-1-71ce76ebd1c91c862986a7aedab2e0bf.jpgMencintai dan menghayati Pancasila berarti kecintaan pada yang berbeda, dan menjaga keragaman itu agar terus lestari. Cinta dalam Pancasila tidak menghancurkan perbedaan, tetapi justru realisasi bahwa Pancasila berdiri ditopang partikularitas-partikularitas. Cinta adalah pengalaman terhadap yang berbeda. Tentunya, menurut Hardt, cinta semacam ini bukanlah suatu perasaan yang mutlak dimiliki oleh subjek. Memang cinta pada sesama sesungguhnya adalah pembelajaran, proses yang terus menerus dikoreksi. Melihat perbedaan dan melatih diri untuk dapat memahami dan berdialog adalah cinta yang mengafirmasi singularitas.

Terkait juga dengan sila ketiga, Persatuan Indonesia, apakah yang dapat dimengerti tentang cinta tanah air? Mencintai negara tidak cukup dari rasa nasionalis yang semu, apalagi kepatuhan yang datang dari rasa takut. Persatuan Indonesia bukan soal euforia pada simbol-simbol negara yang pada permukaan saja, tetapi lebih radikal daripada itu. Kecintaan pada tanah air, juga pada persaudaraan adalah jelujur imajiner. Penelitian yang telah dilakukan oleh Benedict Anderson terkait dengan nasionalisme[5] menarik untuk dipelajari. Namun kembali pada pernyataan awal saya, meski dibutuhkan imajinasi untuk memahami persaudaraan, tetapi solidaritas terhadap dihentikannya penindasan dan penjajahan adalah situasi yang masih relevan dan masih berwujud di Indonesia.

Pertanyaan kritis yang muncul sebagai seorang Pancasilais adalah bagaimana narasi kecintaan terhadap tanah air ini dirasakan secara merata pada seluruh warga negara. Pancasila masih lekat dalam narasi masyarakat di kota, lebih spesifik lagi di wilayah-wilayah tertentu saja, seperti Jawa, Bali, Sumatra misalnya. Bagaimana dengan wilayah Indonesia Timur?[6] Apakah masyarakat di sana merasakan kekhusyuan dan patriotisme yang sama? Desentralisasi yang telah terjadi terbukti belum efektif mendistribusikan kekuasaan agar kembali pada masyarakat lokal, yang terjadi justru eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah-pemerintah daerah terhadap alam dan juga masyarakatnya. Apa makna Pancasila bagi rakyat Papua misalnya? Intimkah Pancasila bagi kehidupan mereka? Pernahkah kita mempertanyakan ini? Persoalan ketimpangan ini penting untuk diangkat agar wacana persatuan tidak dibayang-bayangi tindakan diskriminatif dan opresif. Kita harus mengingat hakekat Pancasila yang merupakan suatu seruan untuk menghentikan penindasan, janganlah kemudian kita melupakan pesan itu.

Kekhawatiran saya terkait dengan sila keempat adalah cabaran masyarakat Indonesia dihadapkan dengan menciutnya ruang berdemokrasi yang sehat. Tersingkirnya akal budi dikarenakan polaritas politik yang begitu buruk. Demokrasi Pancasila adalah arena ekspresi individu juga kelompok yang rasional, tetapi juga bernurani. Segala pertentangan atau perbedaan pandangan politik yang ada semestinya dipahami sebagai proses temporer demi menyelenggarakan demokrasi yang sehat. Meluasnya berita bohong, menunjukan betapa gagapnya masyarakat tetapi juga berbahayanya provokasi yang seringkali datang dari para elit politik.

Pada bagian terakhir saya ingin membahas bagaimana cinta pada Pancasila adalah diletakkan setinggih-tingginya keadilan bagi rakyat. Pemulihan Pancasila sebagai suatu makna tidak dapat dilakukan secara linguistik maupun filosofis semata. Tidak dapat diselesaikan dengan dipopulerkan tagar-tagar di media sosial seperti #SayaPancasila. Perlu ada kehendak politik dari negara untuk menegakan keadilan sosial agar hak sipil dan hak politis masyarakat terjaga. Warga negara berhak mendapatkan keadilan, khususnya bagi mereka para penyintas yang memikul penderitaan tidak terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran HAM. Impunitas terhadap mereka yang terduga melakukan pelanggaran HAM semakin memudarkan makna Pancasila dan janji terhadap keadilan dan kemanusiaan.Kamisan-1.jpg

Keadilan sosial sejatinya adalah keadilan ekologis, Pancasila adalah pandangan hidup yang memiliki nafas keselarasan dengan alam. Kehidupan yang seimbang ini semakin tercerabut, menimbulkan konflik dan penghancuran terhadap lingkungan hidup. Keadilan ekologis[7] adalah pola hidup Pancasilais yang tidak mengandalkan subjugasi dan eksploitasi, tetapi suatu upaya untuk melihat diri sebagai bagian dari komunitas biotik yang tidak lain lagi terwujud dalam tanah dan air Indonesia.

[1] Negara Paripurna, Yudi Latif, (Jakarta, Penerbit Gramedia, 2011) hlm. 1

[2] Totality and Infinity, Emmanuel Levinas, (The Hague, Martinus Nijhoff Publishers, 1979), hlm. 187-209

[3] Surat Kopi, Joko Pinurbo, (Jakarta: Penerbit Grasindo, 2019) hlm. 70

[4] Transkrip ceramah Michael Hardt mengenai Politics of Love and Evil, 10 Juli 2006, https://www.tvo.org//transcript/795855/video/archive/big-ideas/michael-hardt-on-politics-of-love-and-evil-in-the-multitude

[5] Imagined Communities, Benedict Anderson, (London: Verso, 2006)

[6] Lihat https://sarasdewiblog.wordpress.com/2018/10/29/rethinking-nationalism-in-indonesia-amid-the-emerging-challenges-of-regional-autonomy-case-study-loloda-north-maluku/

[7] Lihat https://www.jawapos.com/opini/sudut-pandang/19/01/2019/pilpres-dan-politik-ekologi