Durga di Tanjung Benoa

I. Kriminalisasi

Kekecewaan tidak terperi saat keputusan dibacakan, bahwa Ketua Desa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya ditahan untuk masa tahanan satu tahun. Masyarakat Tanjung Benoa tertunduk, merasa dirampas jiwa desanya. Dalam paham adat Bali, ketua desa adat adalah sukma dari desa. Relasi sosial yang telah menjadi warisan turun-temurun, kini sedang dikoyak, dikacaukan. Tanjung Benoa menderita dikarenakan penghasutan, politik pecah belah hingga kriminalisasi. Gangguan yang dirasakan masyarakat adat Tanjung Benoa telah berlangsung selama 5 tahun yang lalu. Dikriminalisasinya Ketua Adat mereka tidak terlepas juga dari campur tangan pihak-pihak yang secara sengaja ingin mengganggu ketentraman di Tanjung Benoa. Mengapa mereka diusik? Tidak lain lagi dikarenakan polemik reklamasi Teluk Benoa. Ketua Desa Adat merupakan salah satu tokoh yang keras menolak reklamasi Teluk Benoa.

25552350_10208822723284990_2546319527396857235_n.jpg

Hakim menjatuhkan putusan UU P3H No. 18 tahun 2013, terkait dengan tuduhan bahwa Ketua Desa bersama pengurus desa melakukan perusakan hutan. Putusan ini harus dicerna secara kritis, mengingat bahwa tidak ada tindakan yang dituduhkan. Melalui pemaparan saksi ahli juga bukti-bukti di lokasi apa yang dilakukan oleh para pengurus desa berhubungan dengan pemeliharaan juga penataan wilayah Pura Gading Sari yang kondisinya terbengkalai selama ini. Menilik dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/Menlhk-II/2015, yang membahas mengenai ruang lingkup perlindungan untuk masyarakat dan hutan adatnya. Dikatakan dalam pasal 11 bahwa,

“Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang secara turun

temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada

asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta

adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan

hukum.”

Berdasarkan PermenLHK ini, maka sesungguhnya Masyarakat Adat Tanjung Benoa yang memiliki hak terhadap hutan bakau tersebut, berikut juga hak adat untuk menata tempat ibadahnya, sehingga sistem nilai dan tradisi yang ada tetap terjaga. Penataan juga pengelolaan wilayah hutan adat ini pun sama sekali tidak memiliki nilai komersial, mereka khawatir terhadap keberadaan Pura Gading Sari yang terhantam abrasi. Tentunya, masyarakat berkewajiban untuk merawat hutan serta mempertahankan biodiversitas di tempat tersebut. Itulah yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Tanjung Benoa, mereka dengan keras menolak megaproyek reklamasi Teluk Benoa sebab proyek itu akan menimbun 700Ha wilayah perairan Teluk Benoa yang memiliki makna kesucian bagi masyarakat Tanjung Benoa.

II. Tilem di Tanjung Benoa

 Gurat kesabaran nampak di wajah-wajah masyarakat Tanjung Benoa, mereka ditimpakan cobaan bertubi-tubi, tetapi semangat mereka masih menyala. Saya menyaksikan pancaran ini ketika mengunjungi mereka pada hari raya Tilem ke-6. Hari raya Tilem merupakan upacara yang diyakini oleh umat Hindu sebagai hari penyucian segala “Mala” atau keburukan dari hidup manusia. Tilem juga menandai malam yang paling gelap sebab tidak adanya bulan, atau biasa disebut dengan bulan kosong. Pada malam yang paling gelap inilah masyarakat berdoa kepada para dewata, memohon pembersihan dari segala unsur-unsur buruk yang menyebabkan Desa Adat Tanjung Benoa dalam ketidakseimbangan. Saya mengikuti prosesi ini dengan rasa keharuan, sedemikian berat persoalan yang dipikul masyarakat, mereka tetap setia menyerahkan hidupnya kepada Tuhan dan adat.

20171218_171207_resized.jpg

Hujan berangsur-angsur mereda di Tanjung Benoa, menjelang pukul 6 sore segala perlengkapan persembahyangan telah dipersiapkan, Jero Mangku (pemuka agama) telah mendoakan seluruh komponen tiga dunia, dunia Bhuta, dunia manusia dan dunia para dewata. Asap pedupaan mengisi perempatan jalan, pada persimpangan jalan inilah masyarakat bersembahyang. Catuspata adalah titik perjumpaan penjuru angin, Utara, Barat, Timur dan Selatan. Persembahyangan dimulai dengan bunyi genta bergema di segala sisi persimpangan itu. Lazimnya persembahyangan dilakukan dengan Panca Kramaning Sembah atau lima kali persembahyangan, tetapi kali ini prosesi berjalan berbeda. Persembahyangan dilakukan 7 kali, sebagian besar adalah pemujaan kepada Sang Hyang Siwa dengan berbagai manifestasinya.

Untuk pertama kali dalam hidup, saya melakukan persembahyangan berjemaat kepada Sang Hyang Durga. Kekuatan yang diyakini sebagai perwujudan dari Mahadewa Siwa. Saya memperhatikan kepada siapa sajakah pemujaan ini ditujukan; sembahyang pertama dengan tangan puyung (kosong) sebagai pembuka, lalu sembahyang kepada Sang Hyang Siwa Raditya, kemudian kepada Sang Hyang Catur Buana (pemilik empat arah mata angin dalam dunia). Angin bertiup cukup kencang, ketika Jero Mangku melanjutkan memimpin persembahyangan lalu mempersilahkan umat untuk berdoa kepada Dewi Durga. Selepas itu doa dilanjutkan kepada Guru Bendu Piduka lalu Kecaru, keduanya merupakan permohonan akan pemulihan terhadap berbagai kesalahan yang telah dilakukan selama ini. Doa terakhir sebelum penutup adalah kepada Kesama Daya, atau Ista Devata, yakni Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang merupakan totalitas absolut kekuatan di bumi ini.

Ritus ini memang istimewa, adapula keunikan jalannya upacara ini berdasarkan sebuah permintaan dari alam Niskala (roh alam yang tidak tampak). Begitu banyak penodaan, kerusakan juga pengkhianatan yang dilalui di Desa Adat menyebabkan dibutuhkannya Mecaru Agung, ruwatan dalam skala besar. Selepas persembahyangan, warga menari mengundang kehadiran roh-roh agung untuk turun ke bumi dan merasuk ke dalam topeng-topeng Barong dan Rangda yang diletakan di altar. Selepas matahari tenggelam tiga topeng yang telah disucikan dengan asap dan petirtaan, dipersiapkan untuk mengundang roh tiga penunggu di Tanjung Benoa. Gamelan mulai memainkan ritme yang cepat, masyarakat yang dipercaya sebagai para pelayan kehadiran roh-roh itu mulai kesurupan. Mereka menari sambil menangis, meneriakan nama-nama para dewata, memohon pertolongan mereka. Saya merasakan duka yang teramat besar dalam jeritan-jeritan mereka. Bahwa pada upacara besar ini, Ketua Adat yang sangat mereka cintai tidak berada bersama-sama mereka. Upacara Tilem ini menjadi katarsis, trance (kesurupan) kolektif yang menandakan suatu goncangan dalam mentalitas mereka. Tidak lama, para roh-roh tersebut mesolah, mereka muncul sambil mulai menari. Topeng Rangda berwarna putih bernama Ratu Ayu Mas Manik Mahadewa, topeng rangda berwarna merah bernama Ratu Made Rarung dan yang terakhir, Barong yang berwajah merah dengan taring yang panjang bernama Betara Gede Sakti.

20171218_180201_resized(1).jpg

Topeng-topeng ini diyakini sebagai medium dari kesaktian para dewata. Kepada kekuatan-kekuatan inilah masyarakat memohon perlindungan. Di dalam bahasa Bali kehadiran mereka disebut dengan Tedun Jagat, memayungi, melindungi jagat. Ibu-ibu yang duduk di samping saya mulai terisak-isak menangis. Mereka mengukupkan tangan kepada dewata yang telah hadir, sambil melihat ke arah baliho besar dengan gambar Ketua Desa Adat yang diletakan tepat di perempatan jalan. Baliho itu mengatakan, “Bebaskan Jero Bendesa Kami!” Para pemuda melompat-lompat kerasukan, tubuh mereka dipenuhi dengan darah hewan persembahan. Darah itu mengurapi wajah serta dada mereka. Keris diangkat tinggi-tinggi, pekikan mereka menyergap raga. Ratu Ayu Mas Manik Mahadewa menari dalam suasana yang mencekam. Tangannya digerak-gerakan, dibalik itu terdengarlah suara kesurupan kemarahan sang dewata. Dalam bahasa Bali ia mengeluhkan kekacauan yang terjadi di bumi Tanjung Benoa tetapi ia mengingatkan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang dapat lepas dari cengkraman karma.

III. Martir

Saya melakukan pendataan terhadap titik-titik lokasi yang disucikan oleh masyarakat Tanjung Benoa. Pura yang mereka junjung, seperti Pura Prajapati, Pura Dalam Khayangan, Pura Dalam Desa, Pura Dalam Pusah, Pura Dalam Segara, Pura Dalam Ning, Pura Taman Sari, dan Pura Gading Sari. Masing-masing tempat ibadah ini memiliki corak pemujaannya tersendiri, meskipun berbeda sejarah persemayamannya, satu hal yang dapat saya simpulkan yakni kentalnya aliran Hindu Siwa di Tanjung Benoa. Fakta ini tercantum di dalam Lontar Anyang Nirartha dari abad ke-16 SM ciptaan dari Pendeta Agung Dang Hyang Nirartha. Teluk Benoa sebagai wilayah perairan sementara Tanjung Benoa sebagai wilayah daratan merupakan bagian penting dalam perjalanan Dang Hyang Nirartha saat mengukuhkan fondasi Hindu Siwa di Bali.

Masyarakat Tanjung Benoa adalah pengampu salah satu Desa Adat kuno di Bali. Posisi Tanjung Benoa hingga Serangan merupakan pusat kemaritiman Bali masa lampau. Sudut-sudut di Benoa memang kental dengan budaya serta sejarah Hindu Siwa. Melalui silsilah nenek-moyangnya, masyarakat adat ini yang sesungguhnya berhak menata serta melestarikan ruang hidupnya. Kriminalisasi yang terjadi pada Jero Bendesa I Made Wijaya sama sekali tidak mempertimbangkan penghormatan terhadap aspek adat maupun sejarah ini. Dituliskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 B bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Begitu juga yang tertera dalam Deklarasi PBB Mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat yang dikukuhkan pada tahun 2007. Dalam artikel 5 diuraikan secara jernih bahwa masyarakat adat memiliki hak untuk menjaga dan memperkuat keunikan sistem politik, legal, ekonomi, sosial dan kultural. Instrumen internasional ini menegaskan bahwa tata cara, termasuk ruang hidup masyarakat adat harus dihormati oleh negara. Negara berkewajiban untuk melestarikan institusi-institusi adat, sebab pelestarian ini sejatinya adalah perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia.

25550062_10208822722684975_1381711407739438434_n.jpg

Perjumpaan pertama saya dengan Ketua Adat Tanjung Benoa terjadi 3 tahun silam. Ia baru saja terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Desa, mengalahkan secara mutlak kandidat lainnya yang dianggap masyarakat tidak memiliki ketegasan dalam memegang mandat menolak reklamasi Teluk Benoa. Malam itu Desember 2014 lalu, ia baru saja selesai menyelam untuk mengumpulkan rumput laut. Ia keluar dari laut bersama seekor anjingnya yang setia mengikuti kemanapun ia pergi. Ketua Desa menyapa saya dengan hangat, bahkan kami bersantap malam bersama warga yang lainnya, kuliner rumput laut yang ia racik sendiri.

Saat saya temui Ketua Desa Adat di Lapas Kerobokan pekan lalu, situasi hidupnya mungkin telah berubah, tetapi percikan matanya masih sama. Kecintaannya terhadap desa masih berkilat-kilat setiap kita berbincang-bincang. Ia tidak mengutuk keadaannya, seraya telah mempersiapkan diri untuk menjalani ini semua. Dengan pakaian adatnya, tidak sedikitpun ia nampak letih, maupun gundah. Senyumnya mengiris hati saya, ketabahannya menimbulkan kemarahan, ia telah dikorbankan oleh permainan kekuasaan. Ketua Desa Adat menceritakan pengalamannya di dalam penjara. Ia telah berpindah-pindah dari penjara sementara di Polda Bali, lalu penjara Pengadilan Negeri, hingga sekarang di Lapas Kerobokan. Ia ditempatkan bersama-sama pelanggar narkotika dan tipikor. Terhadap lingkungan baru itu pun ia tidak mengeluh, tetapi nurani saya berontak menyaksikan ketidakadilan ini. Satu hal saja yang membuat Ketua Desa Adat bersedih, mengingat bagaimana pedihnya masyarakat mengikuti berbulan-bulan prahara hukum ini. Melihat ratusan dari mereka berduyun-duyun memenuhi gedung pengadilan, mengenakan pakaian adat putih-putih. Mereka selalu bersikap sopan terhadap para hakim dan jaksa, dan selalu memiliki optimisme bahwa hukum akan berada di pihak yang benar. Tetapi masyarakat Tanjung Benoa kini merasa telah ditinggalkan oleh negara sebagai Guru Wisesa, guru yang seharusnya mengayomi, serta menjaminkan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Niat baik dari Desa Adat untuk melakukan konservasi Pura Gading Sari juga pembenahan wilayah mangrove agar bersih dari sampah semestinya disambut baik oleh pemerintah. Pura Gading Sari adalah tempat ibadah yang sangat bermakna bagi masyarakat Tanjung Benoa. Pemasangan tanggul yang dilakukan oleh Desa Adat bertujuan untuk mengantisipasi abrasi yang membayangi Pura Gading Sari. Saya berjumpa dengan Jero Mangku yang melayani Pura Gading Sari, ia menuturkan cikal bakal dari berdirinya Pura tersebut. Ia mengingat bagaimana pengalamannya saat masih kanak-kanak, pada kala muntig-muntig muncul (daratan di saat surut) di Teluk Benoa. Ia terkejut melihat semburan air tawar diantara karang-karang. Air itu hingga kini diyakni oleh masyarakat berkhasiat untuk memberikan penyembuhan. Cerita rakyat Tanjung Benoa juga menuturkan legenda seorang bidadari yang berkulit gading cemerlang sering muncul dan berjalan dari arah Teluk Benoa hingga ke Pura Gading Sari. Mereka menyebut bidadari berkulit gading ini dengan nama, Dewi Ninik Agung.

25593995_10208805010602184_3806541275977108222_n.jpg

Begitu berlimpahnya foklor dan mitos yang berada di Tanjung dan Teluk Benoa. Namun, bagi masyarakat adat Tanjung Benoa inilah dunia yang mereka hayati, suatu kosmologi yang membentuk jati diri mereka. Saya meneliti lebih mendalam, terkait dengan ikatan masyarakat Tanjung Benoa dengan tradisi persembahyangan kepada Durga. Salah satu naskah yang menceritakan mengenai kelahiran Betara Durga adalah lontar Kala Tatwa. Dikatakan bahwa “Aum ranak Hyang Kala pasajnan ta mangkana wenang sira sumendi ring desa rumakasaka kita ikang desa pakraman…” Lontar tersebut menceritakan titah Mahadewa Siwa yang mengatakan bahwa Sang Hyang Kala bersemayam di desa-desa. Dinyatakan pula bahwa Durga memiliki keutamaan untuk menumpas kejahatan dan ketidakadilan yang terjadi di Desa Pekraman, “…Nguniweh amidanda wang dudu, dursila…”. Tempaan yang terjadi pada masyarakat adat Tanjung Benoa tidak akan menyurutkan perjuangan mereka menjaga desanya. Persembahyangan yang mereka laksanakan pada hari raya Tilem menjadi suatu bukti, perjanjian mereka untuk memperjuangkan martabat desa adatnya. Mereka akan tetap setia melindungi juga berkorban untuk desanya.

24991390_10208730833507803_8833294876823267955_n.jpg