Teknik dan Magi

9781350044029.jpg

Saya masih ingat saat berusia 17 tahun, duduk di kelas pertama penerimaan mahasiswa baru Filsafat. Dosen saya bertanya,

“Saraswati dari mana asalmu?”

“Dari Bali Pak.”

“Baiklah, ceritakan sedikit mengapa kamu masuk Filsafat ?”

“Saya senang membaca buku filsafat Pak.”

“Oh ya, buku filsafat apa yang kamu baca ?”

Beberapa lama saya pikirkan saat itu, apakah buku Bhagavad Gita itu filsafat yang formal ? Khawatir dengan anggapan dosen dan seisi kelas, saya jawab,

“Buku yang saya baca Apologia, Plato Pak.”

Tanpa saya sadari sesungguhnya itulah problem filsfat pertama saya, memahami apakah yang termasuk dalam ruang lingkup ilmu filsafat. Saya merasa Plato dan para pemikir Yunani klasik lebih tepat disebut sebagai filsafat sebab mereka memberikan sistematika yang kokoh khususnya terkait dengan bagaimana filsafat bertumpu pada Logos. Meski tentunya, antara Apologia maupun Bhagavad Gita sesungguhnya sama-sama berpikir mengenai esensi dari keadilan itu. Tetapi, Bhagavad Gita, dikarenakan akarnya yang terletak pada Veda, terlebih tepatnya pada Upanishad, membahas kompleksitas struktur kesadaran manusia.

Saat saya mempersoalkan kembali pengalaman awal saya belajar filsafat, bersamaan dengan itu saya tengah membaca karya Federico Campagna yang berjudul Technic and Magic, The Reconstruction of Reality. Federico Campagna adalah seorang filsuf kelahiran Sondrio, Italia, kini ia menetap di London menjadi pengajar di London School of Economics. Dalam pengantarnya ia menuliskan bahwa ia mendedikasikan buku tersebut bagi mereka yang merasa putus asa, terbentur, dan merasa kalah dengan bagaimana realitas ini sudah terbentuk. Ia menulis Technic and Magic dalam kondisi tertekan dengan keadaan dunia yang tersandera dengan bangkitnya fasisme, problem segregasi masyarakat–menajamnya kelas, dan kerusakan lingkungan hidup[1].

Membaca Campagna saya mempertanyakan kembali apakah dasar dari Filsfat? Bagi Campagna buku Technic and Magic sesungguhnya adalah upaya untuk mengembalikan metafisika dalam percakapan intelektual. Dasar dari filsafat adalah metafisika. Metafisika adalah pertanyaan mengenai apakah ada tersebut ? Campagna mengatakan bahwa pembahasan terkait metafisika dalam kata lainnya adalah pembahasan mengenai struktur realitas. Kembali pada kegundahan saya mengenai ruang lingkup filsafat, perbedaan antara Apologia dan Bhagavad Gita sesungguhnya berakar pada bagaimana realitas terbentuk dan dipahami oleh masyarakat. Problemnya ternyata mudah, ada otoritas yang memecah antara cakrawala pemikiran Barat dan Timur, dan menyusupkan hierarki bahkan, bahwa menggunakan konsep Logos, dari titik itulah filsafat ‘diciptakan’. Melalui Campagna saya dapat memahami lebih baik bagaimana penataan pengetahuan juga sesungguhnya negasi ataupun afirmasi terhadap realitas yang ada.

Dari penyelidikan di atas, sebenarnya saya sedang mengulangi belajar filsafat, karena saya merasa bahwa realitas yang sejatinya ada, hanya realitas yang basisnya adalah Logos. Saya sempat meninggalkan realitas yang lainnya, menganggap realitas itu salah, atau bukan hal yang penting. Campagna menggunakan Technic, mengutip dari Martin Heidegger dari esainya yang berjudul The Question Concerning Technology[2]. Campagna mempersoalkan enframming (Gestell) bagaimana realitas terbentuk dari asumsi pembingkaian itu. Senada dengan Campagna saya pun menuliskan pembahasan ini, khususnya bagaimana pembingkaian itu menjadi masalah[3]. Namun berbeda dengan Campagna, saya melihat tahap pembingkaian ini menjanjikan suatu penyibakan untuk mencapai esensi realitas.

Campagna tidak menganggap tahap pra-ontologis ini sesuatu yang optimistik, justru ia mengkritik Heidegger dengan mengatakan bahwa realitas dari perspektif Heideggerian menciptakan realitas yang terpotong-potong antara yang di ‘dalam’ dengan yang di ‘luar’. Alam adalah yang ‘standing reserve’ tersedia bagi manusia untuk dipergunakan, dimanipulasi. Pemulihan kata Techne yang awalnya bagi Heidegger untuk menjernihkan bahwa Techne tersebut bukan persoalan yang teknologis semata, menurut Campagna masih melanggengkan diskriminasi realitas, sama halnya seperti yang sudah disampaikan oleh Plato, Immanuel Kant, juga Aristoteles. Alam masih menjadi yang di luar, yang jauh, dan fenomenologi sesungguhnya secara elaboratif berupaya mengargumentasikan relasi antara subjek dengan dunianya.

Campagna memulai diskusi dengan membicarakan mengenai kepunahan. Technic, menurut Campagna adalah cara-cara untuk menciptakan realitas, dalam konteks kepunahan, Technic pun berusaha memecahkan persoalan kepunahan melalui gagasan rasa takut terhadap akhir kehidupan, apokaliptik. Campagna kemudian menjelaskan bahwa kepunahan bukanlah kematian saja, kepunahan berarti menghilangnya suatu sistem realitas; bahasa, relasi, dunia. Kegentaran terhadap kepunahan, menurut Campagna tidak serta merta menghasilkan subjek yang sadar. Sebaliknya, ia mengkritik munculnya AGE (the abstract general entity), melalui Technic justru yang naik ke permukaan adalah penghancuran, reduksi, disintegrasi, yang menghasilkan kekosongan[4].

“To our contemporary world, Technic is God, in that it acts as the overall form encompassing all the various principles that structure our world.”[5]

Realitas manusia secara total adalah upaya untuk membahasakan relasinya dengan Tuhan. Technic memunculkan 5 hipostasis; bahasa yang absolut, ukuran, unit, entitas abstrak yang general, dan kerapuhan. 5 hipostasis yang diuraikan oleh Campagna membahas bagaimana dunia adalah bahasa, bahasa adalah representasi, tetapi representasi itu dianggap kebenaran yang mutlak. Sementara itu kita dapat lihat contohnya pada bahasa matematis, juga diciptakannya unit, benda-benda alam yang digunakan untuk menciptakan dunia, hilangnya subjek dan individu. Bagian terakhir dari kosmogeni Technic menjelaskan bagaimana kerapuhan hidup membayang-bayangi realitas yang dibentuk Technic. Ekspansi dan repetisi Technic, semakin menampakkan kerapuhan. Kerapuhan hidup ini menurut Campagna dapat dipandang sebagai kemungkinan untuk menciptakan realitas yang lainnya. Kerapuhan hidup; absurdnya waktu, menakutkannya kematian, tidak tetapnya makna, dapat dijalani dengan dua cara, mengulangi metode Technic, atau keluar, melarikan diri dari sistem realitas yang monopolistik tersebut.

Slide09.jpgKeheranan saya terhadap realitas magis adalah ketika saya meneliti mengenai ritual Sang Hyang Dedari[6]. Tradisi perwujudan yang sakral ke dalam tubuh medium, sebagai permohonan kepada kosmos agar terhindar dari bencana. Dengan kehati-hatian saya berupaya membedah fenomena itu, bahwa ada aspek sakral dan profan dari tubuh manusia. Pada satu sisi tubuh adalah wahana untuk mencapai, merasakan yang sakral tetapi pada sisi yang lainnya, tubuh adalah yang terbatas, tidak sempurna, penuh dengan cela. Saya terjebak dalam dualisme itu, terombang-ambing di antara dua realitas. Saat mempresentasikan riset ini dalam suatu mimbar internasional, salah seorang peserta bertanya, “Ibu sebagai orang Bali, tapi di sisi lainnya juga seorang akademisi/peneliti, bagaimana menjaga objektivitas ? Apakah Ibu juga mempercayai kekuatan terapetik para bidadari yang turun ke bumi itu ?”

Saya menjawab pertanyaan itu dengan mantap, tapi sayangnya, saya merasa jawaban saya datang dari hegemoni Technic. Menggunakan bahasa ilmiah, saya seolah-olah, memisahkan antara dua realitas itu, dan realitas atau struktur matematis/formal/logis melalaikan saya melihat realitas yang magis itu. Membaca Campagna, membantu saya untuk menebus pandangan-pandangan yang pernah saya ciptakan menggunakan kosmogoni Technic.

“The project of this book is grounded on the conviction that the current reality-system, which I defined as Technic, is leading to the destruction of reality as such—and that this disappearance bears dramatic consequences. For this reason, the next part of this book will be dedicated to exploring magic, the alternative reality-system which I wish to propose as possible path towards the reconstruction of reality.”[7]

Eksplorasi Campagna tentang Magi melibatkan penggabungan teori-teori yang unik, ia membicarakan renungan Ibn Arabi mengenai nama-nama Tuhan bagaimana imajinasi Ibn Arabi dalam membahasakan relasi yang beragam dengan Tuhan. Multiplisitas ini juga muncul dalam upaya membentuk pengetahuan, ia membicarakan tentang Avidya, yang diambil dari Vedanta Darsana, bahwa menurut pemikir Vedanta pengetahuan adalah cara untuk menghindari kesengsaraan. Kosmogoni Magic menurut Campagna perlu dipandang bukan saja sebagai alteritas dari Technic, tetapi Magic juga adalah terapi bagi rezim totalitas yang kita hidupi.

Teori utama yang menurut saya ingin ditampilkan oleh Campagna adalah mengenai yang ineffable atau kesukaran untuk mengatakan maupun membahasakan. Technic harus selalu jelas, jernih tidak ganda mengenai bagaimana bahasa digunakan. Namun, renungan Campagna adalah, realitas adalah persoalan pergolakan juga penderitaan untuk mencoba memegang apakah yang ineffable itu. Itulah realitasnya, kegamangan berdiri dalam buana alit dengan buana jagat, buana hyang. Campagna meminjam teori dari Chandogya Upanishad soal keterbatasan bahasa dalam menjelaskan apakah yang dimaksud dengan atman ? Aku adalah diriku, aku tidak dapat melepaskan diriku sendiri, begitu dekat, tetapi untuk menguraikan siapa diriku? Kata-kata tidak mungkin memadai ?

Dari kesukaran kata-kata dan definisi, Campagna membahas mengenai bagaimana Magi mendorong individu untuk selalu mengkontemplasikan dirinya. Ia adalah subjek yang menciptakan simbol dan alegori, tetapi simbol-simbol itu bukan permainan saja, atau penggunaan semantik, lebih dari itu, simbol-simbol itu adalah bagaimana subjek merangkul, mengakrabi duniannya[8]. Apa yang dianggap sakral, atau bagaimana hierofani, pembentukan sakral terjadi sesungguhnya adalah upaya untuk memaknai kehidupan yang sarat dengan kesengsaraan. Kesimpulan dari kosmogoni Magic, menempatkan manusia yang berada di ‘dalam’ maupun di ‘luar’, memang paradoksal, tetapi Campagna menekankan bahwa pengetahuan Magi tidak dijerat oleh struktur konvensional yang terobsesi dengan tatanan.

Belakangan saya kembali membaca karya-karya Wittgenstein, baik yang Tractactus maupun Philosophical Investigation. Dua karya yang sejatinya berlawanan ini menunjukan kefrustasion Wittgenstein dalam memahami apakah realitas itu? Pada Tractactus secara logis mengatakan bahwa realitas adalah bahasa dan bagaimana bahasa mengacu pada gambar yang ajeg. Sebaiknya, hal-hal yang kurang jelas, atau masih sumir, tidak perlu dikatakan sama sekali. Sanggahan Wittgenstein terhadap karyanya sendiri Tractactus, menunjukan ketidakpuasannya terhadap bagaimana bahasa (realitas) dipersempit. Bahasa punya fungsi yang bermacam-macam, bahkan, ia dinamis, ekspansif dan selalu ingin melampaui apa yang sudah ditetapkan. Permainan bahasa, adalah ragam realitas. Hingga titik ini, saya merasakan kesukaran dan penderitaan Wittgenstein untuk merengkuh bahasa, beserta kemustahilannya. `

D2u6ZjcVAAA__L5.jpg

[1] Lihat Federico Campagna, Technic and Magic, Reconstruction of Reality, London: Bloomsbury, 2018, hlm 1.

[2] ibid. hlm. 24

[3] Lihat Saras Dewi, Ekofenomenologi, Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam Tangerang: Marjin Kiri, 2015, hlm. 122

[4] Lihat Technic and Reality, The Reconstruction of Reality, hlm. 54

[5] ibid. hlm. 64

[6] Putri, L.S. 2017. The revival of Sang Hyang Dedari dance: a phenomenological approach to social-ecological reconstruction in Bali. ASEAN Journal of Community Engagement. Volume 1(1), pp.72-82 http://ajce.ui.ac.id/article/view/54

[7] Lihat Technic and Magic, The Reconstruction of Reality, hlm. 104

[8] ibid. hlm. 149